Sherpa, Orang Timur Tangguh Penakluk Himalaya

Dini Pramita
8 Juni 2023, 08:24
Ilustrasi. Sherpa adalah nama suku yang tinggal di lembah sekitar Everest.
ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.
Ilustrasi. Sherpa adalah nama suku yang tinggal di lembah sekitar Everest.

Kisah Gelje Sherpa menyelamatkan pendaki asal Malaysia bernama Ravichandran Tharumalingam yang nyaris kehilangan nyawanya, viral di media sosial. Warganet mengkritik sikap Ravi yang dianggap tidak tahu berterima kasih karena tidak mengakui aksi penyelamatan yang dilakukan Gelje.

Ravi bahkan memblokir akun media sosial milik Gelje usai ceritanya bertahan hidup saat mendaki Gunung Everest, Himalaya, menjadi bahan perbincangan luas. Dalam beberapa postingan di media sosialnya, pria yang menjuluki dirinya sendiri Ravi Everest ini selalu menyebut 14 Peaks Expedition Co. dan The Seven Summit Expedition Co. yang telah menyelamatkannya.

Padahal, Gelje Sherpa berasal dari Aga Adventures, agensi pendakian Himalaya yang berbeda dari agensi yang kerap ia sebut. Gelje merupakan pemandu Himalaya yang cukup populer. Ia pernah terlibat dalam proyek ambisius mendaki 14 puncak Himalaya yang dikenal dengan nama 'Possible Project'

Kisah pendakian Gelje bersama teman-temannya dalam menaklukkan 14 puncak tertinggi di Himalaya tersebut lantas didokumentasikan dalam film dokumenter berjudul '14 Peaks: Nothing is Impossible'. Dokumenter itu sempat menjadi salah satu dokumenter populer di Netflix.

Pengalaman Gelje bolak-balik mengawal pendakian di puncak-puncak Himalaya membuat ia sanggup memanggul Ravi yang tengah dalam kondisi kritis selama enam jam.

Dataran tinggi Himalaya Tibet
Dataran tinggi Himalaya Tibet (ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/aww.)

Sherpa, 'Orang Timur' dari Tibet

Sherpa adalah nama suku yang tinggal di lembah sekitar Everest. Kebanyakan mendiami Khumbu Valley, kawasan Taman Nasional di sekitar Everest.

Kata 'Sherpa' berasal dari kata Shar Pa dalam bahasa Tibet, yang berarti orang-orang yang tinggal di timur. Kata lainnya adalah Sharwa yang juga memiliki makna sama: orang-orang dari timur.

Nenek moyang kaum Sherpa berasal dari Kham yang berada di Tibet bagian timur, yang kemudian bermigrasi ke Pegunungan Himalaya, Nepal, sekitar 500 tahun silam. Suku tersebut diyakini pertama kali menetap di Distrik Solukhumbu dan berangsur-angsur bergerak mengikuti jalur perdagangan.

Dalam perjalanannya, mereka yang semula hidup secara nomaden meninggalkan pola tersebut dan menetap sembari berdagang berbagai macam barang, salah satunya kerbau atau kulit kerbau.

Para Sherpa di masa itu sangat bergantung pada yak (sapi khas Himalaya), untuk memenuhi kebutuhan harian. Yak menyediakan wol yang digunakan untuk membuat pakaian, kulit yak digunakan untuk membuat sepatu, kotorannya untuk pupuk dan bahan bakar, susunya diolah menjadi beragam produk seperti mentega dan keju.

Selain itu, mereka bergantung pada kebun kentang yang menjadi sumber bahan pangan utama. Para Sherpa mengenali kentang dan cara menanamnya dari kebun-kebun milik kolonial Inggris di Darjeeling dan Kathmandu sekitar tahun 1800-an.

Sebagai petani dan peternak, komoditas utama Sherpa adalah beras, kentang, barley dan buckwheat, yak dan kerbau. Sebagai pedagang, komoditas utama para Sherpa adalah kentang, beras, barley, buckwheat, kerbau, dan produk turunan yak, yang dibawa dengan melintasi celah Nangpa La setinggi 19 ribu kaki atau sekitar 5.791,2 meter menuju Tibet.

Dalam sejarahnya, orang Sherpa bermigrasi ke dalam empat gelombang sehingga menciptakan empat klan Sherpa: Minyagpa, Thimmi, Sertawa, dan Chawa. Keempat klan tersebut terbagi lagi ke dalam lebih dari 20 sub-klan lain.

Sherpa saat ini tidak hanya menempati Khumbu dan Solu-Khumbu saja. Keberadaan mereka menyebar ke lembah Sungai Dudh Kosi dan Rolwaling yang berada di sebelah barat Solu-Khumbu. Sebagian lainnya menempati Kathmandu dan Lantang-Helambu di utara Kathmandu. 

Sherpa menjadi suku yang mampu menaklukkan puncak Everest, puncak gunung tertinggi di dunia, secara efisien karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrem di sekitar Himalaya. Gunung Everest merupakan yang tertinggi di dunia. Sebagai gambaran, Puncak Jaya  Papua yang dinobatkan sebagai titik tertinggi di Indonesia dan di wilayah Pasifik,  hanya memiliki ketinggian setengah dari tinggi Everest.

Manusia Super yang Beradaptasi dengan Lingkungan Ekstrem Himalaya

Sherpa dikenal memiliki fisik yang kuat karena telah beradaptasi selama ribuan tahun dengan lingkungan ekstrem di Himalaya. Kekuatan fisik Sherpa menjadi objek sejumlah penelitian.

Sebuah riset tentang genetika orang Sherpa yang dipublikasikan pada 2010 menyebutkan ada lebih dari 30 faktor genetik yang membuat tubuh Sherpa efisien untuk tinggal di dataran tinggi Himalaya. Mereka memiliki EPAS1, sebuah gen 'super' yang mengatur produksi hemoglobin dalam tubuh sehingga orang Sherpa lebih efisien dalam menggunakan oksigen.

Gen itu membuat Sherpa dapat bertahan hidup tanpa oksigen hingga ketinggian 8.000 meter atau sekitar 23 ribu kaki. Ketahanan tubuh Sherpa secara alamiah itu yang membuat mereka menjadi pendamping para pendaki untuk menjelajahi pegunungan Himalaya.

Salah satu catatan pendakian yang kerap menjadi rujukan mengenai pendampingan Sherpa adalah milik Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru, yang membuat ekspedisi pada 1953. Dalam menjalankan ekspedisi itu, ia ditemani oleh seorang Sherpa bernama Tenzing Norgay.

Dalam berbagai ekspedisi setelah itu, Sherpa kerap dimintai bantuannya untuk mendampingi para pendaki. Mereka bertindak sebagai pemandu, membantu membawa sebagian besar barang pendaki, menyiapkan camp peristirahatan, mendirikan tenda, hingga membantu dalam berbagai misi penyelamatan.

Sejak itu, Sherpa identik sebagai 'pemandu para pendaki gunung' di Himalaya.  Pegunungan Himalaya merupakan rangkaian pegunungan yang punya 14 puncak, salah satunya adalah Everest sebagai titik tertinggi di dunia.

Asosiasi Pendaki Gunung Nepal (NMA) mencatat setidaknya 10.000 Sherpa bekerja memandu ekspedisi di wilayah Everest,  Annapurna, Kangchenjunga, dan gunung-gunung lainnya di barisan Himalaya dengan bayaran rata-rata US$2 ribu per musim atau sekitar Rp29,7 juta, di luar bonus jika mencapai puncak. Adapun Everest, Annapurna dan Kangchenjunga merupakan tiga puncak dengan risiko kematian yang cukup tinggi.

 

2014, Tahun Kelabu Orang Sherpa

Pada 18 April 2014, pukul 06.30 pagi, sebuah longsoran salju yang meluncur dari Es Khumbu, salah satu daerah mematikan di Everest, menyapu lereng yang dinamai 'Popcorn Field'.

Saat itu, para Sherpa meninggalkan base camp Everest untuk memastikan keamanan para pendaki yang mereka dampingi dan sebagian lagi bekerja memperbaiki tali pengaman.

Bongkahan es itu menimbun puluhan Sherpa yang sedang bekerja. Sebanyak 16 orang Sherpa meninggal dalam tragedi itu dengan rincian 13 jenazah ditemukan, sementara 3 lainnya dinyatakan hilang.

Peristiwa tersebut memicu aksi boikot seluruh rencana pendakian pada musim itu yang dilakukan para Sherpa sebagai bentuk penghormatan kepada saudara mereka yang meninggal. Aksi boikot itu juga merupakan bentuk protes terhadap rendahnya upah dan kesejahteraan Sherpa yang tak sepadan dengan risiko yang mereka hadapi.

Pada April 2023 lalu, tiga Sherpa meninggal karena jatuh ke sebuah jurang di sekitar Gunung Everest. Sejak 1922 hingga 2023, diperkirakan ada 125 Sherpa meninggal dalam pendakian Everest.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...