Profil Sriwijaya Air, Lolos Pailit dan Berencana IPO
Sriwijaya Air memperoleh persetujuan kreditur untuk menyelesaikan kewajiban pada mitra bisnis dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang alias PKPU. Perusahaan kini lolos dari jerat pailit.
Salah satu faktor yang menyelamatkan Sriwijaya Air adalah rencana perusahaan melantai di Bursa Efek Indonesia. Sebelumnya Sriwijaya Air punya utang senilai Rp 3,62 triliun. Menurut Financial Advisor Sriwijaya dari Triple B, Noprian Fadli, proposal perdamaian ini akan memberikan kenyamanan bagi dua belah pihak.
Ia menghitung beban keuangan bisa berkurang sekitar minimum 80%. “Dan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu, berjalannya operasional, yang equity-nya tadinya negatif jadi positif,” katanya.
Rencana penawaran saham perdana ini bukan yang pertama. Sriwijaya Air sempat ingin melakukan IPO pada April–Mei 2017. Namun, Direktur Utama Sriwijaya Air Group Chandra Lie mengatakan perusahaan tetap berkomitmen melantai agar bisa lebih ekspansif.
“Penundaan ini karena pertimbangan perusahaan saja, supaya IPO kami itu lebih baik lagi. Saya kira kalau bisa lebih baik, kenapa enggak? Yang pasti tahun ini kami komitmen IPO,” katanya di Jakarta pada Januari 2017.
Awal Mula Pendirian
Melansir laman resmi perusahaan, Sriwijaya Air didirikan oleh empat orang: Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim. Maskapai penerbang ini merupakan perusahaan keluarga. Hendry adalah kakak dari Chandra Lie, sedangkan Andy Halim merupakan adiknya.
“Berkat dorongan dan dukungan merekalah, saya bisa mencapai seperti saat ini. Dan yang tidak boleh saya lupakan adalah para founding father perusahaan ini. Selain kami bersaudara, juga ada Pak Sunaryo, Pak Johannes dan beberapa orang lain," kata Chandra Lie dikutip dari Bisnis Indonesia.
Empat bersaudara ini turut mengajak pakar penerbangan untuk mengembangkan bisnis ini. Mereka adalah Supardi, Kapten Kusnadi, Kapten Adil W., Kapten Harwick L., Gabriella, dan Suwarsono.
Maskapai tersebut berdiri pada 10 November 2002 dan beroleh izin terbang perdana pada 28 Oktober 2003. Nama Sriwijaya dipilih pendirinya agar maskapai bisa sukses layaknya kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Sriwijaya merupakan kerajaan maritim asal Sumatera Selatan. Chandra Lie bukanlah orang Palembang, tempat asal kerajaan tersebut. Namun, Pulau Bangka, tempat asal Chandra, adalah salah satu wilayah Kerajaan Sriwijaya.
Berdasarkan catatan Harian Kompas, Sriwijaya Air memulai penerbangannya dengan satu unit Boeing 737-200 dengan rute Jakarta–Pangkal Pinang. Jalur ini dipilih lantaran adalah kampung halaman pendirinya. Penerbangan perdana Sriwijaya Air dilakukan bertepatan dengan Hari Pahlawan pada 10 November 2003.
Disrupsi Transportasi Laut
Kehadiran Sriwijaya Air pun mendisrupsi moda transportasi warga Bangka Belitung. Hanya dalam waktu enam bulan, kapal cepat Pangkal Pinang–Jakarta berhenti beroperasi. “Tidak mampu bersaing,” tulis Harian Kompas.
Bila dibandingkan, harga tiket pesawat Sriwijaya Air lebih menguntungkan daripada kapal cepat. Pada akhir 2003, tiket penerbangan Jakarta–Pangkal Pinang Rp 175 ribu dan ditempuh selama 1 jam 15 menit. Kapal cepat, di sisi lain, mematok harga tiket Rp 155 ribu hingga Rp 165 tibu untuk waktu pelayaran 10 jam.
Kesuksesan Sriwijaya Air ini salah satunya adalah imbas dari deregulasi industri penerbangan. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkatan Udara. Dengan perubahan peraturan itu, siapa saja bisa mendirikan maskapai penerbangan bahkan dengan satu unit pesawat.
Kesuksesan Sriwijaya Air mengarahkan perusahaan untuk membangun anak usaha baru, NAM Air. Dari kanal YouTube Sriwijaya Air, diketahui nama perusahaan ini diambil Chandra lie untuk mengenang ayahnya, Lo Kui Nam.
Selain Nam Air, perusahaan juga memiliki NAM Training Center untuk mendidik tenaga bidang jasa penerbangan dan PT National Aviation Management di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Harapannya, perusahaan ini bisa menjadi sekolah penerbangan terbesar dan terlengkap di Indonesia.