Bank Mandiri Lahir dari Krisis 1998, Dibidani Soeharto - Habibie
Bank Mandiri lahir di tengah suasana krisis ekonomi pada 1997-1998. Pendiriannya merupakan bagian dari nota kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk merestrukturisasi perbankan.
Ketika itu, IMF dilibatkan dalam penanganan krisis di Indonesia. Krisis yang bermula dari turunnya nilai tukar rupiah kemudian merembet ke sektor perbankan. Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas karena kurs dolar Amerika Serikat yang melambung.
Dampaknya, dunia usaha yang menjadi debiturnya gagal membayar utang ke perbankan. Padahal bank memperoleh dana untuk menyalurkan kredit tersebut dari pinjaman luar negeri. Akibat gagal bayar dunia usaha dan pelemahan kurs rupiah, bank tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
Miranda Goeltom (2005) mencatat, rasio kredit bermasalah (NPL) pada periode itu melonjak drastis. Dari sebelum krisis, NPL netto hanya 3,9% (1996) dan 4,2% (1997) menjadi 35,1% pada 1998.
Bank Indonesia menggambarkan kondisi industri perbankan pada saat itu, seperti sudah berada di tepi paling pinggir dari jurang keruntuhan. Situasi itu terjadi hanya kurang satu tahun sejak krisis yang berawal pada Juni 1997 (2006: 43).
Tekanan terhadap sektor perbankan bertambah besar setelah—atas saran IMF—penutupan 16 bank pada 1 November 1997. Seketika meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan menyebabkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (rush). Nasabah memindahkan dananya ke bank yang lebih aman, bahkan ada yang ke luar negeri.
Tak hanya perbankan swasta, bank-bank pemerintah turut tertekan. Sesuai LoI, untuk memperbaiki kesehatan bank, pemerintah akan merestrukturisasi dan mengonsolidasikan perbankan pelat merah. Selain agar operasional lebih efisien, pasca-restrukturisasi bank-bank pemerintah juga akan diprivatisasi.
Pada Desember 1997, pemerintah mengumumkan bahwa Bank Tabungan Negara (BTN) akan menjadi anak perusahaan Bank Negara Indonesia (BNI). Sementara empat bank, yakni Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) akan dimerger.
Presiden Soeharto menyetujui penggabungan tersebut, dan mengusulkan nama Bank Catur. Namun hingga Soeharto berhenti, penyatuan empat bank tidak terealisasi.
BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto lalu melaksanakannya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 1998 pada 1 Oktober 1998 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.01/1998. Nama Bank Catur tak jadi dipakai, Habibie justru mengusulkan nama baru yakni Bank Mandiri.
Sehari setelah terbitnya peraturan pemerintah, akta notaris pendirian Bank Mandiri disetujui Menteri Kehakiman. Tanggal 2 Oktober kemudian diperingati sebagai hari lahir Bank Mandiri.
Pendirian Bank Mandiri memang dimaksudkan sebagai perusahaan induk (holding company) dari empat bank yang akan dimerger. Hal ini lantaran, pemerintah tidak ingin ambil risiko jika memilih salah satu dari empat bank tersebut untuk memimpin. Alhasil seluruh aset keempat bank kemudian digabungkan ke dalam Bank Mandiri. Jadi pilihan saat itu adalah merger bukan akuisisi.
Tanri Abeng, Menteri Negara BUMN di Kabinet Habibie, menilai penggabungan keempat bank harus dilakukan karena keempatnya dapat dikatakan sudah bangkrut. Bank Dunia (2004) menilai persoalan di sektor perbankan Indonesia, termasuk bank milik pemerintah, adalah kualitas kredit yang buruk. Banyak kredit disalurkan tanpa analisis, melainkan atas mandat pemerintah atau pemilik bank.
Dari laporan keuangan diketahui, keempat bank pelat merah mengalami insolvent atau tidak mampu membayar deposan. Hal ini karena liabilitasnya lebih besar daripada aset. Tercatat pada 1998, modal keempat bank minus hingga total Rp 93,6 triliun. Rata-rata setiap bulan, kata Robby Djohan, masing-masing bank mengalami kerugian hingga Rp 2 triliun.
Memilih Orang yang Tepat
Dalam memoarnya Detik-Detik yang Menentukan, BJ Habibie mengatakan, dia memanggil Tanri Abeng untuk mendiskusikan rencana penyatuan keempat bank. Pembentukan Bank Mandiri, menurutnya penting karena penduduk Indonesia terbesar di Asia Tenggara, sehingga tak hanya memerlukan bank komersial yang besar, tapi juga dapat bergerak secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah.
Dalam pertemuan itu, Habibie bertanya ke Tanri Abeng siapa yang dapat mengintegrasikan keempat bank?
Secara spontan, Tanri menjawab Robby Djohan yang saat itu sedang menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia. Robby dinilai berhasil merestrukturisasi dan menyelamatkan maskapai nasional yang terlilit masalah likuiditas. Sebelum di Garuda, Robby sudah dikenal sebagai bankir yang berhasil membesarkan Bank Niaga. Habibie pun meminta Tanri mengajak Robby menemuinya di kediamannya di Kuningan.
Dalam bukunya The Art of Turn Around: Kisah-kisah Restrukturisasi, Robby tidak langsung mengiyakan tawaran Tanri Abeng. Sampai akhirnya, Tanri mengatakan kepada dirinya, “Anda harus bertemu Bapak Habibie!”
Baru kali itu Robby bertemu presiden dalam rangka pekerjaan restrukturisasi perusahaan. Selama merestrukturisasi Garuda, dirinya bahkan sama sekali belum pernah bertemu Soeharto.
Dari pertemuan tersebut dia mengetahui visi Habibie yang menginginkan Indonesia memiliki bank yang kuat dan terbesar di Asia Tenggara. Tanpa ada proteksi, subsidi, dan berbagai fasilitas dari pemerintah, sehingga tidak menjadi beban pemerintah. “Untuk menjadi bank besar seperti itu, Andalah yang akan melakukannya,” kata Habibie kepada Robby.
“Saudara Robby, when you are ready, maka saudara akan melapor kepada saya secara periodik. Kalau ada masalah dengan birokrasi beri tahu saya, karena Bank Mandiri sangat penting,” kata Habibie.
Robby Djohan sebetulnya bukan orang pertama yang menjadi Direktur Utama Bank Mandiri. Tanri Abeng sebelumnya telah menunjuk Mulyo Hardjoko, Direktur Utama PT Taspen. Namun Mulyo Hardjoko hanya menjabat selama 35 hari, kabarnya karena ditentang DPR yang menyoroti latar belakang Mulyo yang bukan bankir. Tanri Abeng mengaku tidak punya pilihan, karena dirinya tak mungkin mengambil salah satu direksi dari bank yang akan dimerger.
Di bawah duet Komisaris Utama Mar’ie Muhammad dan Direktur Utama Robby Djohan proses merger berlangsung cepat. Langkah pertama adalah menyegerakan status legal merger. Hanya butuh sepuluh bulan sejak Bank Mandiri berdiri, proses hukum dituntaskan yakni pada 31 Juli 1999. Proses ini lebih cepat dibandingkan jadwal satu setengah tahun yang disepakati dalam LoI dengan IMF.
Robby mengakui tantangan terbesar dalam mengintegrasikan keempat bank adalah budaya korporasi dan cakupan bisnis yang berbeda-beda. Apalagi total karyawan eks-empat bank mencapai 26.597 orang. Dari jumlah itu, Bank Mandiri hanya menyisakan 16.637 karyawan.
Kemudian di bidang teknologi dan informasi, Bank Mandiri mewarisi sembilan sistem berbeda, ribuan kantor cabang, sistem pembukuan dan keuangan, serta operasional back office. Tantangan lain adalah menuntaskan restrukturisasi utang kepada kreditur asing yang mencapai US$ 2,7 miliar.
Di dalam negeri, Bank Mandiri juga berhasil merestrukturisasi utang nasabah senilai Rp 24,6 triliun. Jumlah kredit bermasalah tersebut mencapai hampir 50% dari total penyaluran kredit sebesar Rp 44 triliun pada 1999.
Berbagai upaya sepanjang tahun pertama tersebut, Bank Mandiri berhasil memperbaiki kinerja keuangan peninggalan dari bank legacy, serta dampak krisis 1998. Kerugian yang mencapai Rp 124,1 triliun pada 1998 berkurang hingga setengahnya menjadi Rp 61 triliun pada 1999.
Pada 2000, Bank Mandiri berhasil mencetak laba bersih Rp 1,2 triliun. Total aset pun meningkat dari hanya Rp 100,5 triliun pada 1998 menjadi Rp 248,4 triliun pada 1999. Nilai aset tersebut melonjak hingga 14 kali lipat pada 2020 menjadi Rp 1.429,3 triliun, sekaligus yang terbesar di antara bank-bank di tanah air.