Menilik Sejarah Pemberian THR dalam Sistem Pengupahan Indonesia

Image title
29 Maret 2023, 11:56
THR
ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Ilustrasi, pekerja menunjukkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterimanya di pabrik rokok PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/4/2021).

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya atau THR Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Surat Edaran ditujukan kepada para gubernur di seluruh Indonesia.

Ida menjelaskan, pemberian THR keagamaan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. THR keagamaan wajib dibayarkan secara penuh dan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

"THR keagamaan ini harus dibayar penuh, tidak boleh dicicil. Saya minta perusahaan agar taat terhadap ketentuan ini," kata Menaker pada Konferensi Pers Kebijakan Pembayaran THR Keagamaan Tahun 2023 yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (28/3).

Keberadaan THR sebagai pendapatan non-upah untuk pekerja di Indonesia, sejatinya sudah muncul sejak dulu. Lebih tepatnya sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, saat Indonesia masih menjalankan sistem pemerintahan parlementer. Seperti apa sejarah kemunculan THR di Indonesia? Simak ulasan singkat berikut ini.

PEMBAGIAN UANG THR BAGI PEKERJA PT DJARUM
PEMBAGIAN UANG THR BAGI PEKERJA PT DJARUM (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.)

Awal Kemunculan THR dalam Sistem Pengupahan Indonesia

Sebenarnya, dunia kerja Indonesia tidak mengenal adanya THR atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soekiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.

Soekiman berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet Soekiman ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi PNS, termasuk persekot lebaran ini. Tujuannya, agar para PNS mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.

Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS tersebut harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.

Kebijakan pemberian persekot lebaran ini terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bahkan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroamidjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.

Saat itu, besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh. Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.

Munculnya Hadiah Lebaran sebagai Cikal Bakal THR

Seperti yang telah dijelaskan, kemunculan konsep THR awalnya adalah berbentuk persekot dan hanya diberikan kepada PNS. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.

Mengutip www.spkep-spsi.org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menuntut agar pemerintah memperluas subjek pemberian persekot lebaran ini.

Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh. Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas.

Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah "Hadiah Lebaran". Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE ini, dikatakan setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar seperduabelas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.

Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan "Hadiah Lebaran" bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah.

Tuntutan para buruh terkait "Hadiah Lebaran" sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.

Mengutip www.mediakasasi.com, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961, yang isinya menyebutkan bahwa "Hadiah Lebaran" wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan.

Aturan ini masih terus diadopsi hingga era pemerintahan Orde Baru. Baru pada 1994 istilah THR diperkenalkan, disertai aturan mengenai skema pemberiannya.

PEMBAGIAN UANG THR BAGI PEKERJA PT DJARUM
PEMBAGIAN UANG THR BAGI PEKERJA PT DJARUM (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.)

Aturan Resmi THR Muncul

Sejak 1994, para pekerja/buruh di Indonesia tak lagi menerima "Hadiah Lebaran" melainkan Tunjangan Hari Raya atau THR. Penetapan THR ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker), yang saat itu dijabat oleh Abdul Latief, mengeluarkan ketentuan yang menyebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih.

Permenaker tersebut juga mengatur besaran THR yang diberikan kepada para pekerja. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat (1a) dan (1b) Permenaker 04/1994. Pasal 3 Ayat (1a) menyebutkan bahwa pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar mendapatkan THR sebesar satu bulan upah.

Sementara, ketentuan besaran THR untuk pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan tetapi kurang dari satu tahun, tertera pada Pasal 3 Ayat (1b). Besaran THR untuk kategori ini diberikan secara proporsional dengan masa kerja, yakni masa kerja dibagi 12 kemudian dikalikan satu bulan upah.

Pemerintah saat itu juga mengatur mengenai perusahaan yang tidak sanggup membayarkan THR. Hal ini diatur melalui Pasal 7 Permenaker 04/1994, yang terdiri dari tiga poin, antara lain:

  1. Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
  2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
  3. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.

Kebijakan ini menjadi cikal bakal pengaturan THR hingga saat ini. Namun, pada awal pelaksanaannya pemberian THR ini belum menyentuh seluruh elemen pekerja swasta. Sebab, saat itu tidak diatur mengenai pemberian THR bagi pekerja yang baru masuk, yakni pekerja dengan masa kerja di bawah tiga bulan, dan pekerja yang berstatus kontrak.

Aturan THR di Era Reformasi, Mulai Menyentuh Seluruh Lapisan Pekerja

Pokok-pokok aturan mengenai pemberian THR di era reformasi sejatinya masih mengadopsi aturan yang tertera dalam Permenaker 04/1994. Revisi atas aturan THR baru dilakukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada 2016 melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 6 tahun 2016.

Dalam aturan ini, disebutkan bahwa THR juga diberikan kepada pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan. Besaran THR yang diterima mengadopsi metode penghitungan yang telah disebutkan pada Permenaker 04/1994, yakni masa kerja dibagi 12 dikalikan upah satu bulan. Artinya, jika seseorang sudah bekerja selama sebulan, maka perhitungan THR-nya adalah 1/12 dikali upah atau gaji.

Upah yang dimaksud adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Kewajiban pemberian THR juga diberikan untuk pekerja yang berstatus pegawai kontrak, yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 3 Ayat (3) Permenaker 6/2016, yang memiliki dua pokok isi, yaitu:

  • Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja dua belas bulan atau lebih, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam dua belas bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
  • Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari dua belas bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Permenaker 6/2016 ini menjadi acuan bagi aturan-aturan pemberian THR hingga saat ini. Termasuk di dalamnya Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 yang telah dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah pada 6 April.

KUNJUNGAN MENAKER KE POSKO PENGADUAN THR KABUPATEN TANGERANG
KUNJUNGAN MENAKER KE POSKO PENGADUAN THR KABUPATEN TANGERANG (ANTARA FOTO/Fauzan/foc.)

Aturan THR Berdasarkan Surat Edaran Menaker 2023

Seperti telah disebutkan, pada 2023 Menaker Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya atau THR Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Isi Surat Edaran Menaker tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Penerima THR

THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja atau buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.

2. Besaran THR

terkait besaran THR, pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan THR sebesar 1 bulan upah. Sedangkan bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional.

Perusahaan dapat memberikan THR yang lebih besar dari peraturan perundang-undangan. Dalam Permenaker 6/2016 diatur bahwa bagi perusahaan yang dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau kebiasaan yang berlaku di perusahaan tersebut telah mengatur besaran THR yang lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh tersebut sesuai dengan PK, PP, PKB, atau kebiasaan tersebut.

3. Buruh Lepas

Ada kekhususan pengaturan THR bagi pekerja/buruh dengan perjanjian kerja harian lepas. Bila pekerja mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, maka upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

Bagi pekerja harian lepas yang masa kerjanya kurang dari 12 bulan, maka upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja tersebut.

Dalam SE ini juga ada ketentuan perhitungan upah 1 bulan bagi pekerja/buruh dengan upah satuan hasil. Untuk pekerja/buruh ini, perhitungan upah 1 bulan didasarkan pada upah rata-rata 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

4. Industri Padat Karya Tetap Harus Bayar THR Penuh

Perusahaan wajib membayar THR 100% tanpa dicicil. Hal itu termasuk industri padat karya berorientasi ekspor yang mendapatkan keringanan dalam Permenaker 5/2023.

Sebagai informasi, peraturan tersebut mengizinkan sejumlah industri padat karya melakukan penyesuaian jam kerja karyawan dan memotong upah hingga 25%. Menaker menegaskan, upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan THR adalah nilai upah terakhir sebelum dilakukannya penyesuaian upah tersebut.

Demikianlah sejarah kemunculan THR dalam sistem pengupahan Indonesia, serta aturan terbaru terkait pemberian tunjangan hari raya keagamaan ini.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...