Kebijakan 3 in 1: Disetop di era Ahok, Kini untuk Kurangi Polusi Udara
Imbas polusi udara Jakarta yang kian parah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berencana merevisi kebijakan three in one alias 3 in 1 yang pernah diterapkan di Ibu Kota. Ia akan mengubahnya menjadi four in one atau 4 in 1. Artinya, setiap mobil yang melewati Jakarta wajib memiliki empat penumpang di dalamnya, termasuk supir
Budi berpendapat kebijakan ini bakal mengurangi jumlah mobil di Jakarta, terutama orang-orang yang datang dari kota penyangga. “Katakanlah mereka dari Bekasi, Tangerang, atau Depok. Mereka bersama-sama ke kantor, gantian mobilnya, sehingga jumlah mobil di Jakarta bakal menurun,” katanya di Istana Kepresidenan, Senin (14/8).
Pada kesempatan sama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan penyebab utama polusi udara adalah emisi kendaraan. Ia menyebut ada 24,5 juta kendaraan di DKI Jakarta pada 2022, sebanyak 19,2 juta unit sepeda motor dan 5,3 juta unit mobil.
Hal ini kain diperparah dengan rendahnya persentase kendaraan yang melakukan uji emisi, yakni baru 10%. Ia mencontohkan persentase uji emisi kendaraan di Jakarta Pusat, baru 3,86% sementara di Jakarta Utara sekitar 10,69%.
Lahir Saat KTT Non Blok
Berbeda dengan tujuan penerapan tahun ini, aturan three in one awalnya lahir untuk menertibkan lalu lintas Jakarta. Tepatnya pada 1992, Jakarta menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi X Gerakan Non-Blok dari Agustus hingga September. Kala itu, DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Wiyogo Atmodarminto.
Uji coba three in one dilakukan pada 14 April hingga 18 April 1992 dengan membatasi mobil pribadi yang lewat di kawasan pembatasan penumpang alias KPP. Hanya mobil pribadi berpenumpang tiga orang atau lebih yang boleh lewat di KPP.
Larangan ini berlangsung hanya saat jam padat yaitu pukul 06.30 sampia 10.00 WIB serta jam pulang kerja dari 16.00 sampai 19.00 WIB. Beberapa jalan yang masuk KPP adalah Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Merdeka Barat. Kemudian Jalan Gatot Subroto dan Jalan S Parman.
Regulasi 3 in 1 juga mengacu pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 4104 Tahun 2003 yang ditandatangani Gubernur Sutiyoso. Waktu berlakunya aturan ini sama dengan era Wiyogo.
Sedangkan untuk KPP-nya meliputi ruas jalan utama, seperti Sisingamangaraja, Jenderal Sudirman, MH Thamrin, Medan Merdeka Barat. Begitu juga di sebagian jalan Jenderal Gatot Subroto, hingga Gerbang Pemuda, serta persimpangan jalan HR Rasuna Said.
Fenomena Joki Three in One
Kewajiban minimal jumlah penumpang untuk masuk ke KPP kemudian menimbulkan ladang cuan baru bagi masyarakat: joki. Orang-orang akan berdiri di pinggir jalan, menawarkan jasa pada pengendara mobil yang akan masuk KPP sehingga mencapai jumlah penumpang minimum. Nantinya mereka menerima bayaran dari pemilik kendaraan itu.
Fenomena ini sempat menjadi perhatian karena tidak hanya orang dewasa yang melakoni profesi joki. Tak jarang ditemui anak-anak serta ibu yang menggendong anak kecil berdiri di pinggir jalan.
Dalam laporan Harian Kompas, Suku Dinas Sosial DKI Jakarta kerap melakukan razia untuk membina para joki ini, sebab kebijakan three in one menjadi tidak efektif. Di sisi lain, anak pun menjadi korban karena bisa terpisah dengan orangtuanya setelah diturunkan dari mobil penumpang.
Diganti Menjadi Ganjil Genap
Meski diterapkan cukup lama, aturan three in one dianggap tidak efektif mengurai kemacetan. Akhirnya pada 16 Mei 2016), saat kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kebijakan three in one dihapuskan.
Penghapusan ini tidak dilakukan tiba-tiba, sudah melalui dua kali uji coba dari 5 sampai 13 April 2016 dan diperpanjang hingga 14 Mei 2016. Menurut Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta kala itu, Andri Yansyah, penghapusan three in one meningkatkan kemacetan hingga 24,35% pada saat uji coba.
Waktu tempuh juga lebih lama, dari 3,5 menit per kilometer menjadi 6 hingga 7 menit per kilometer. “Namun di beberapa ruas jalan, terutama bukan di jalan protokol, terjadi kelonggaran,” kata Andri, dilansir dari Kompas.com.
Untuk menggantikan three in one, Pemprov DKI Jakarta kemudian menerapkan kebijakan ganjil-genap. Menurut catatan BeritaSatu, kebijakan ganjil genap sudah digagas sejak 2013 tapi tidak kunjung diterapkan karena pemerintah ingin menerapkan electronic road pricing alias ERP.