Sejarah Pajak Konsumsi di Indonesia, dari PPb hingga PPN
Tahun 2024 akan menjadi tahun terakhir pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 11%, karena mulai tahun depan tarifnya akan naik menjadi 12%. Kenaikan tarif ini telah diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU PPN sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Namun, kenaikan tarif bisa saja ditunda bila ada intervensi dari pemerintah. Perihal penundaan ini, diatur dalam Pasal 7 Ayat (3) UU PPN, yang menyebutkan tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi sebesar 15%.
"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%," bunyi ayat penjelas Pasal 7 ayat (3) UU PPN.
Seperti diketahui, PPN merupakan pungutan yang dikenakan ada setiap transaksi jual beli barang dan jasa di wilayah Indonesia. Pemungutannya dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, badan usaha dan pemerintah. Ini merupakan jenis pajak tidak langsung, serta bersifat objektif dan non kumulatif.
Artinya, pajak tidak dibayarkan oleh pelaku usaha yang memproduksi barang/jasa, melainkan oleh konsumen yang menggunakan atau mengkonsumsi barang/jasa. Dasar hukum yang digunakan untuk memungut pajak ini adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sejarah Pajak Konsumsi Barang dan Jasa di Indonesia
Sistem PPN dalam perpajakan Indonesia tidak muncul begitu saja. Penerapan pungutan atas konsumsi barang/jasa di Indonesia sebelumnya telah melalui beberapa perubahan, hingga menganut sistem yang saat ini diterapkan.
Berikut ini, merupakan paparan singkat perjalanan jenis-jenis pajak yang berlaku atas konsumsi barang/jasa di Indonesia, hingga kemunculan PPN.
1. Pajak Pembangunan I
Jauh sebelum penerapan PPN, Indonesia menerapkan Pajak Pembangunan I atau PPb I yang ditetapkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan. Pajak ini berlaku resmi mulai 1 Juni 1947. Besaran tarif pajak yang dibebankan adalah sebesar 10% dari jumlah pembayaran.
Sama seperti PPN, PPb I menerapkan sistem self assessment, di mana wajib pajak memungut, menyetor, dan melaporkan pajak. Saat itu, penerapannya menggunakan prinsip contante storting system atau sistem setor tunai. Seiring berjalannya waktu, PPb I juga melalui serangkaian perubahan, melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1948 (UU PPb I Tahun 1948), dengan penambahan pasal terkait penagihan pajak.
Kemudian, PPb I juga mengalami perubahan bentuk, yang sebelumnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Ini ditandai dengan penerbitan UU Nomor 32 Tahun 1956. Melalui UU ini, PPb I dapat dipungut daerah apabila daerah tersebut telah siap memungutnya. Dalam pelaksanaannya, tarif PPb I tiap daerah bisa berbeda-beda, pun demikian dengan objeknya. Misalnya, di Jakarta tarif dikenakan sebesar 5% yang penerapannya diperluas tak hanya di rumah makan, melainkan juga untuk jasa katering.
Meski sifatnya terbatas, PPb I boleh dikatakan menjadi tonggak awal PPN yang merupakan pungutan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di wilayah Indonesia.
2. Pajak Peredaran 1950
Selain PPb I, Indonesia juga menerapkan Pajak Peredaran atau PPe, yang ditetapkan melalui UU Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran, yang diumumkan pada 18 Maret 1950. Oleh karena itu, dalam pajak ini kerap disebut sebagai PPe 1950.
Sifat PPe 1950 ini kurang lebih sama dengan PPb I. Pembedanya adalah, PPe 1950 merupakan pungutan pajak atas pemakaian barang umum, dan dikenakan pada penyerahan barang-barang yang ada di peredaran bebas. Saat itu, pemerintah menerapkan tarif untuk PPe sebesar 2% atas setiap penyerahan barang. Pajak ini juga dikenakan atas jasa, dengan sistem penggantian, yakni nilai yang harus dilunasi kepada orang yang memberikan jasa.
Pemungutan PPe 1950 dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemungutan sekaligus, di mana hanya dikenakan sekali saja atas hasil akhir. Pemungutan dapat dilakukan pada awal lajur produksi, maupun pada mata rantai berikutnya. Kedua, menggunakan sistem pemungutan bertingkat. Artinya, pajak dipungut setiap kali ada pemindahan barang-barang ke tingkat berikutnya. Pada setiap penyerahan barang, tidak ada penyesuaian atau pengurangan.
Penerapan PPe 1950 ini berlangsung singkat, hanya sembilan bulan. Penyebabnya, jenis pajak ini dianggap menimbulkan penyimpangan dan tidak berkeadilan, terutama pada sistem pemungutan bertingkat. Sebab, pungutan yang dilakukan berkali-kali dengan tidak adanya pengurangan pada setiap lajur, menyebabkan penambahan kalkulasi harga barang. Ini menjadikan beban pajak berlipat, melebihi tarif yang sebenarnya berlaku. Nah, beban inilah yang akhirnya harus dipikul oleh konsumen.
3. Pajak Penjualan
Setelah penerapan PPb I dan PPe 1950, Indonesia tidak langsung menerapkan sistem PPN melainkan menetapkan Pajak Penjualan (PPn). Jenis pajak ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal PPN, karena bentuk pungutan sebelumnya masih menggunakan sistem kolonial Belanda. Dasar hukum penerapan PPn adalah Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (UU PPn), yang berlaku mulai 1 Oktober 1951.
Dalam PPn, pungutan diterapkan atas harga barang-barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, PPn juga dikenakan atas penyerahan jasa. Namun, ada beberapa jasa seperti notaris, akuntan atau advokat, tidak dipungut PPn.
Mengutip buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai, PPn diterapkan dengan sistem pemungutan satu kali pada tingkat produsen. Namun, dalam UU PPn terdapat ketentuan yang mengatur apabila barang diolah kembali oleh produsen berikutnya, maka PPn atas penyerahan barang yang telah diolah kembali tersebut dapat dikurangkan dengan pajak yang telah disetor.
Dalam perjalanannya, PPn mengalami beberapa perubahan, mulai dari wajib pajak yang semula produsen barang diperluas ke penyedia jasa. Tarif PPn juga beberapa kali mengalami perubahan, dari awalnya menggunakan atrif umum 10% menjadi 20%. Kemudian, pada 1974 tarif PPn berubah menjadi tiga golongan, yakni 0% bagi jenis barang yang dibebaskan dari PPn. Lalu, 5% untuk barang berupa karton, kertas pembungkus, kertas tulis, kertas cetak, karbon, dan lain-lain. Terakhir, tarif 10% dikenakan pada golongan barang yang tidak termasuk dalam dua kategori pertama dan kedua.
Pemberlakuan PPn ini kemudian digantikan oleh PPN pada 1983, karena dianggap tidak lagi memungkinkan untuk dapat memenuhi kebutuhan atau menampung aktivitas ekonomi masyarakat yang terus berkembang. Selain itu, sistem PPN sendiri telah diterapkan oleh negara-negara industri dan berkembang selama satu dekade sebelumnya, sehingga memicu perlunya perubahan atas sistem perpajakan untuk konsumsi ini.
4. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN
Indonesia akhirnya memutuskan meninggalkan sistem PPn dan menerapkan PPN pada 1983. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu), pemerintah memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 menjadi selambat-lambatnya 1 Januari 1986.
Penangguhan dilakukan karena pemerintah melihat belum siapnya berbagai pihak untuk melaksanakan UU PPN seketika. Ketidaksiapan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara.
Dalam perjalanannya, UU PPN telah mengalami empat kali perubahan. Pertama, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada 1 Januari 2001.
Perubahan ketiga atas UU PPN dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010. Perubahan terakhir atas UU PPN masuk dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP, yang disahkan pada 29 Oktober 2021.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%, dan mulai berlaku pada 1 April 2022. Tarif kemudian akan naik menjadi 12%, yang mulai diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemerintah memiliki kewenangan untuk menunda rencana kenaikan tarif ini. Dasarnya, adalah Pasal 7 Ayat (3) UU PPN.
Bila pemerintah memang memiliki rencana untuk menunda kenaikan tarif PPN tersebut, pemerintah dapat mengubah tarif dengan cara menerbitkan peraturan pemerintah (PP) setelah dibahas bersama DPR.