Sejarah SBN dan Peranannya dalam Pembangunan Indonesia
Pemerintah akan menerbitkan Surat Berharga Negara atau SBN untuk investor ritel yang ketiga kalinya tahun ini, yakni Sukuk Tabungan (ST) seri ST012. Rencananya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan menerbitkan ST012 pada 26 April. Penjualan surat berharga ini, akan dilakukan hingga 29 Mei 2024.
Sebelum ST012, pemerintah telah menerbitkan SBN Ritel berjenis Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI025 pada 29 Januari 2024 dan Sukuk Ritel (SR) seri SR020 pada 4 Maret 2024.
Sejak 2005, SBN menjadi salah satu instrumen andalan untuk pembiayaan defisit anggaran. Namun, instrumen ini bukanlah barang baru di Indonesia, karena sejak awal kemerdekaan, pemerintah telah menerbitkan obligasi negara.
Seperti apa sejarah kemunculan obligasi pemerintah Republik Indonesia, yang kini dikenal sebagai SBN? Simak ulasan berikut ini.
Sejarah SBN, dari Era Revolusi Kemerdekaan hingga Reformasi
Seperti telah disebutkan, SBN bukanlah instrumen baru yang digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagai sumber pembiayaan. Sejak awal kemerdekaan, diketahui pemerintah menerbitkan beberapa surat utang untuk mendanai perjuangan maupun pembangunan.
Bentuk Obligasi Pemerintah Awal Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, anggaran negara masih terbatas. Sementara, pemerintah harus menghadapi agresi militer Belanda, serta membutuhkan dana yang cukup besar untuk perluan menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan.
Penerimaan pajak diketahui tidak mumpuni saat itu, sehingga pemerintah mencari sumber pendanaan lain, yakni melalui pinjaman. Urusan pembiayaan ini, menjadi tanggung jawab Pejabatan Keuangan, salah satu unit di bawah Kementerian Keuangan yang menangani urusan anggaran, perbendaharaan dan kas negara, serta uang, bank dan kredit.
Program Pinjaman Nasional 1946
Salah satu langkah yang dilakukan Pejabatan Keuangan dalam rangka mencari sumber pembiayaan negara, adalah dengan menggulirkan program Pinjaman Nasional 1946. Dasar hukum program ini, adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional.
Melalui UU tersebut, Menteri Keuangan memiliki kuasa untuk menjual SBN, yang saat itu dikenal sebagai obligasi pemerintah, demi mengumpulkan dana sebesar f 1 miliar.
Pemerintah mengeluarkan tiga banderol obligasi, yakni lembar ƒ 100 (uang Jepang), lembar ƒ 500 (uang Jepang), dan lembar ƒ 1.000 (uang Jepang). Dana yang terkumpul dari penjualan obligasi ini, akan digunakan untuk pembangunan, membantu perusahaan negara, perumahan rakyat, dan belanja negara.
Penjualan tiga obligasi ini dilaksanakan pada 15 Mei-15 Juni 1946, namun terus diperpanjang sampai target tercapai sebelum tutup tahun. Agar makin menarik minat masyarakat, UU 4/1946 diubah dengan UU Nomor 9 tahun 1946 pada 5 Agustus 1946. Perkataan 'bunga' diubah menjadi 'hadiah'.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), hasil penjualan tiga obligasi perdana pemerintah Indonesia ini tergolong positif. Hingga akhir 1946, dana yang terkumpul mencapai Rp 500 juta. Selain untuk membiayai sektor pertanian dan kerajinan rakyat, dana hasil penjualan obligasi ini juga berhasil meredam inflasi.
Promes Negara
Keberhasilan program Pinjaman Nasional 1946 mendorong pemerintah untuk mengeluarkan program serupa. Melalui Pejabatan Uang, Bank, dan Kredit, pemerintah menggulirkan program pinjaman negara dengan masa pendek.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1947, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 30 tahun 1947, pemerintah menawarkan promes negara, dengan target dana terkumpul hingga Rp 100 juta. Saat itu, sehelai promes negara atau surat berharga, ditawarkan seharga Rp 1.000 dan masa berlakunya enam bulan dari tanggal pengeluaran.
Melalui PP 20/1947, masyarakat dapat meminjamkan uang kepada pemerintah dalam jangka waktu enam bulan, baik berupa uang maupun barang yang berguna bagi pertahanan/kemiliteran di masa perang. Sebagai tanda utang, diberikan surat promes yang dapat ditukar dengan uang mulai 28 Januari 1948.
Mengutip Media Keuangan, promes negara adalah surat berharga (waarde papieren), yang dapat diperdagangkan dalam masyarakat. Jika memerlukan uang tunai, pemegangnya dapat menjual atau menggadaikan. Namun, promes negara tak bisa dijual atau digadaikan kepada jawatan atau badan pemerintah, hanya kepada seorang atau badan partikelir.
Program pinjaman jangka pendek kembali digulirkan tahun berikutnya melalui PP 25/1948. Melalui PP ini, pemerintah bermaksud meminjam uang untuk sembilan bulan sebanyak Rp 100 juta dengan sewa modal 6%. Tiga bulan kemudian, pada 13 November 1948, melalui PP 66/1948 diadakan perubahan, yakni selain sewa modal 6%, diberikan pula premi risiko sebesar 12%.
Era Demokrasi Terpimpin: Obligasi untuk Dana Pembangunan
Di masa Republik Indonesia Serikat dan awal-awal Demokrasi Terpimpin, SBN atau obligasi pemerintah masih menjadi salah satu alternatif pembiayaan negara. Total ada empat obligasi yang diterbitkan selama masa RIS dan Demokrasi Terpimpin.
Obligasi R.I. 1950
Pada 1948, pemerintah merombak struktur organisasi Kementerian Keuangan, dengan mengubah nomenklatur Pejabatan menjadi Jawatan. Salah satu Jawatan yang dibentuk, adalah Thesauri Negara, gabungan dari Pejabatan Keuangan serta Pejabatan Urusan Utang, Kredit, dan Bank. Tugasnya, melaksanakan fungsi anggaran dan perbendaharaan.
Salah satu program Thesauri Negara adalah mengawal kebijakan sanering (pengguntingan uang) yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat Sjafruddin Prawiranegara. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi defisit anggaran yang tinggi.
Dalam kebijakan ini, semua uang NICA dan uang kertas De Javasche Bank lainnya dengan nominal lebih dari Rp 2,50 dipotong menjadi dua bagian. Bagian kiri ditukar dengan uang kertas baru De Javasche Bank. Bagian kanan ditukar dengan 3% Obligasi Republik Indonesia.
Selain itu, semua simpanan giro dan simpanan lainnya di bank di atas Rp 400 harus di tukar dengan 3% Obligasi Republik Indonesia yang akan dibayar kembali secara cicilan dalam jangka waktu 40 tahun.
Semua bank wajib memindahkan setengah dari simpanan itu ke rekening "Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950". Obligasi yang dikeluarkan khusus untuk tujuan penukaran tersebut, dinamakan "Pinjaman Darurat 1950" atau "Obligasi R.I. 1950".
Dalam buku Sejarah Pembiayaan Indonesia, disebutkan bahwa penerbitan tersebut dilakukan untuk mencapai konsolidasi utang negara yang berjangka pendek dan mengatur peredaran uang. Pemerintah juga berupaya agar dana masyarakat dapat disalurkan ke sektor-sektor investasi yang produktif.
Sebagai wadahnya, bursa efek dibuka secara resmi pada 3 Juni 1952. Surat-surat berharga yang banyak diperdagangkan di bursa terutama adalah obligasi-obligasi pemerintah dan saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing.
Obligasi Konsolidasi 1959, Obligasi Berhadiah 1959, dan Obligasi Pembangunan 1964.
Pada pertengahan dekade 1950-an, kondisi perekonomian belum membaik, dengan sebagian besar penerimaan negara berasal dari utang luar negeri, yang dipakai untuk menghadapi pemberontakan di daerah maupun proyek-proyek pembangunan.
Untuk itu pemerintah menerbitkan sejumlah obligasi sebagai salah satu instrumen utang pemerintah, antara lain Obligasi Konsolidasi 1959 dan Obligasi Berhadiah 1959.
Penerbitan Obligasi Konsolidasi 1959 dilakukan terkait kebijakan moneter untuk mengganti uang rakyat yang dibekukan di bank-bank pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 26 tahun 1959. Obligasi ini diterbitkan dengan bunga 3,5% dan berjangka waktu 40 tahun dengan total outstanding sebesar Rp 5 miliar.
Sedangkan, Obligasi Berhadiah 1959 diterbitkan pada 17 Agustus 1959 senilai Rp 2 miliar dengan bunga 6% sesuai UU Darurat Nomor 3 tahun 1959 tentang Pengeluaran Pinjaman Obligasi Berhadiah Tahun 1959. Penerbitannya untuk pembiayaan pembangunan.
Tingkat bunga yang cukup tinggi sebesar 6% ditetapkan untuk menarik minat masyarakat. Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, disebutkan bahwa Obligasi Berhadiah berjangka waktu 30 tahun ini kemudian banyak dibeli pemodal individu dalam negeri.
Pada 1964, untuk membiayai pembangunan nasional, pemerintah kembali menerbitkan obligasi yang dikenal dengan nama Obligasi Pembangunan 1964. Obligasi ini diterbitkan dengan bunga 6% dengan total outstanding sebesar Rp 10 miliar. Namun, obligasi-obligasi tersebut mengalami kegagalan.
Pembayaran kewajiban kacau balau karena pemerintah tak punya uang. Selain itu, harga obligasi juga turun sejak pemerintah melakukan devaluasi rupiah pada 1966.
"Periode ini merupakan masa suram dalam sejarah pengelolaan keuangan negara, dan dalam jangka waktu yang cukup panjang pemerintah berhenti menerbitkan Surat Utang Negara," kata Tarmiden Sitorus dalam Pasar Obligasi Indonesia: Teori dan Praktik.
Era Orde Baru: Obligasi Negara Redup, Digantikan Utang Luar Negeri
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, fokus pemerintah adalah menyelesaikan kewajiban pembayaran obligasi-obligasi yang diterbitkan tahun 1950, 1959, dan 1964.
Pada 1978, pemerintah berusaha mempercepat pelunasan terhadap sisa outstanding seluruh seri obligasi yang masih beredar di masyarakat. Penugasan untuk melaksanakan pelunasan ini, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri (DJMDN).
Terbentuknya DJMDN merupakan salah satu perubahan susunan organisasi Kementerian Keuangan secara besar-besaran pada 1966. Saat itu dibentuk beberapa direktorat baru pada Kementerian Keuangan. Salah satunya Direktorat Jenderal Keuangan, yang pada 1975 diubah menjadi Direktorat Jenderal Moneter (DJM).
Namun, pada 1979, nomenklatur DJM dihapuskan. Sebagai gantinya, pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri (DJMDN) dan Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri (DJMLN), yang pada 1988 digabung lagi menjadi DJM.
Upaya menyelesaikan kewajiban obligasi lama tidak berjalan mudah. Pelunasan dilaksanakan mulai 16 Maret 1979 di Kantor Kas Negara yang ditunjuk, yaitu sebanyak 23 kantor di seluruh Indonesia. Selanjutnya obligasi-obligasi tersebut dimusnahkan di PN Kertas Padalarang pada 1985.
Kendati sudah kedaluwarsa, masih ada pemegang/ahli waris pemegang obligasi yang mengupayakan permintaan pelunasan. Persoalan ini bahkan menjadi berlarut-larut. Pada 2001 misalnya, Kementerian Keuangan memutuskan tuntutan atas klaim obligasi lama tetap tidak dapat dipenuhi karena sudah kedaluwarsa.
Keputusan tersebut diperkuat dengan putusan pengadilan termasuk putusan atas permohonan kasasi dari pemegang obligasi lama yang memutuskan untuk menolak tuntutan agar pemerintah melunasi obligasi tersebut.
Setelah lama berhenti menerbitkan obligasi, pemerintah kembali melirik sumber alternatif pembiayaan pembangunan ini. Salah satunya dengan menerbitkan obligasi internasional. Pada 1980-an, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam denominasi Yen di pasar perdana Jepang yang dikenal dengan nama Samurai Bonds.
Penerbitan Samurai Bonds terdiri dari tiga seri dengan nominal masing-masing sebesar 10 miliar yen, yakni Yen Bonds of 1981 – Series 1, Yen Bonds of 1982 – Series 2, dan Yen Bonds of 1983 – Series 3.
Namun, selama Orde Baru, pemerintah lebih mengandalkan pembiayaan pembangunan melalui utang luar negeri ketimbang SBN. Namun, utang luar negeri dengan nominal valuta uang asing berisiko tinggi, akrena sensitif terhadap gejolak nilai tukar. Terbukti, Indonesia akhirnya mengalami krisis ekonomi dan moneter pada 1997.
Era Reformasi: SBN Menjadi Salah Satu Sumber Pembiayaan Andalan Pembangunan
Di era Reformasi, pemerintah kembali melirik penerbitan obligasi sebagai salah satu sumber pembiayaan. Penerbitan surat utang secara legal disahkan dalam Pasal Peralihan UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara (SUN).
Dalam perkembangannya, SUN menjadi instrumen utama sumber pembiayaan defisit APBN. SUN yang diterbitkan berupa Obligasi Negara seri FR0021, melalui metode bookbuilding.
Pemerintah melakukan pengembangan metode penerbitan SBN, yakni melalui lelang. Pada 8 April 2003, pemerintah berhasil melakukan Lelang Surat Utang Negara untuk kali pertama dengan menerbitkan Obligasi Negara seri FR0022. Kemudian secara bertahap, pemerintah melaksanakan penerbitan SUN reguler di pasar perdana.
Lelang terbaru dilaksanakan pada 17 Oktober melalui sistem lelang Bank Indonesia, dimana pemerintah melelang tujuh SBN, yang berjenis Surat Perbendaharaan Negara (SPN), dan SUN. Ketujuh SBN tersebut, antara lain SPN03240117 (new issuance) dan SPN12241017 (new Issuance), FR0095 (reopening), FR0100 (reopening), FR0098 (reopening), FR0097 (reopening) dan FR0089 (reopening).
Dalam lelang tersebut, total penawaran yang masuk tercatat sebesar Rp 16,98 triliun. Dari total penawaran yang masuk tersebut, total nominal yang dimenangkan sebesar Rp 10,2 triliun.
SBN Mulai Membidik Ritel
Pemerintah juga fokus untuk mengembangkan varian SBN untuk memperluas pasar dalam negeri. Pada 2006, pemerintah mulai menawarkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI), yang merupakan produk investasi untuk mendekatkan masyarakat dengan pasar surat utang negara.
Pada umumnya, ORI diterbitkan satu seri setiap tahun, namun beberapa kali pemerintah menerbitkan dua seri ORI dalam satu tahun. Misalnya, pada 2023 pemerintah menerbitkan ORI-023 pada Juni lalu dan ORI-024, yang mulai ditawarkan pada 9 Oktober. ORI menjadi salah satu instrumen yang populer di kalangan individu yang ingin berinvestasi dalam instrumen yang stabil dan aman.
Sepanjang penerbtian ORI, nominal penerbitan tertinggi dicatatkan oleh ORI-023, yakni sebesar Rp 28,9 triliun. Sedangkan, nominal penerbitan terendah terjadi saat penawaran ORI-012, sebesar Rp 2,71 triliun.
Pembiayaan Merambah Instrumen Syariah
Pemerintah juga mengembangkan surat berharga dengan menggunakan prinsip syariah. Sebagai implementasinya, dikeluarkan kebijakan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) melalui UU Nomor 19 tahun 2008. Tak lama setelah diundangkan, pemerintah menerbitkan SBSN untuk kali pertama pada 26 Agustus 2008 melalui bookbuilding yakni seri Islamic Fixed Rate IFR001.
Melalui SBSN ini, pemerintah juga menyerap dana yang cukup signifikan. Pada lelang 10 Oktober lalu misalnya, pemerintah menyerap dana sebesar Rp 5 triliun dari lelang enam seri SBSN atau sukuk negara.
Sama seperti obligasi konvensional, pemerintah juga merancang jenis sukuk untuk investor ritel, yang kemudian dinamakan Sukuk Ritel. SBSN untuk ritel ini, pertama kali diterbitkan pada 2009, melalui penerbitan Sukuk Ritel Seri SR001.
Seri pertama Sukuk Ritel tersebut diserbu 14.295 orang investor, dengan total nilai penjualan SR001 mencapai Rp 5,55 triliun. Terbaru, pemerintah menawarkan SR019 pada 1-20 September.
Penawaran sukuk ritel terbaru ini mencatatkan hasil yang positif, pemerintah berhasil meraup dana sebesar Rp 25,3 triliun. Penawaran SR019 juga mencatatkan rekor jumlah investor, yakni mencapai 62.083 investor.
Sebagai informasi, badan yang mendapat tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan di bidang pengelolaan pinjaman, hibah, surat berharga negara, dan risiko keuangan, adalah DJPPR.
Direktorat ini dibentuk melalui Peraturan Menteri Keuangan 206/PMK.01/2014, dan merupakan hasil integrasi antara Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, yang sebelumnya merupakan unit eselon II pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), yang kini telah berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR).
Saat ini, optimalisasi pembiayaan utang yang bersumber dari penerbitan SBN, baik lewat penawaran SUN, SBSN, ORI, maupun Sukuk Ritel, lebih dipilih daripada pinjaman luar negeri untuk pembiayaan defisit APBN.
SBN merupakan sumber pendanaan APBN yang sangat penting. Penerbitannya juga merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, menyediakan alat manajemen likuiditas dan risiko kepada lembaga keuangan, serta menyediakan alat pengelolaan mata uang kepada Bank Indonesia.