Mengenal Pajak Peredaran, Pungutan Konsumsi Republik Indonesia Serikat

Image title
1 Agustus 2024, 13:51
pajak peredaran
Nederlands Fotomuseum/geheugendelpher_nl
Ilustrasi, kawasan pertokoan di Surabaya tahun 1950.
Button AI Summarize

Pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN sebagai pungutan atas konsumsi barang dan jasa di Indonesia tidak muncul begitu saja. Penerapan pungutan atas konsumsi barang/jasa di Indonesia telah melalui beberapa perubahan. Salah satu bentuk pungutan atas konsumsi yang pernah berlaku, adalah pajak peredaran atau PPe.

Ini merupakan bentuk pajak atas konsumsi barang dan jasa yang berlaku di era Republik Indonesia Serikat (RIS), menggantikan pajak pembangunan atau dikenal sebagai PPb I yang sebelumnya berlaku.

PPe diterapkan untuk memperkuat keuangan negara RIS yang saat itu baru saja terbentuk pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).

Dasar Hukum Penerapan Pajak Peredaran

Pajak Peredaran 1950
Pajak Peredaran 1950 (Nederlands Fotomuseum/geheugendelpher_nl)

Dasar hukum penerapan PPe, adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran atau UU Drt 12/1950, yang disahkan oleh Presiden RIS Soekarno pada 13 Februari 1950. Pada perjalannya, UU terkait PPe ini mengalami perubahan melalui UU Drt 38/1950.

Mengacu pada Pasal 3 UU Drt 12/1950, pajak peredaran adalah pungutan atas penyerahan barang-barang yang berada dalam peredaran bebas dan dari jasa, yang dilakukan di Indonesia.

Tarif PPe yang berlaku, adalah sebesar 2% atas setiap penyerahan barang dan/atau jasa, dengan dasar pengenaan pajak atau DPP dihitung dari harga barang.

Sementara, penyerahan barang-barang yang dikenakan pajak peredaran dihitung atas dasar harga-jual. Lalu, penyerahan jasa kena pajak peredaran dihitung atas dasar penggantian.

Mengacu pada Pasal 4 UU Drt 12/1950, objek pajak peredaran atau objek PPe terdiri dari dua, antara lain:

  • PPe Barang: Semua penyerahan barang yang berada di peredaran bebas.
  • PPe Jasa: Semua kegiatan pemberian jasa di Indonesia.

Adapun, mengutip penjelasan umum dari UU Drt 12/1950, barang-barang yang tidak dikenakan pajak peredaran yakni barang yang berada dalam daerah pabean, dari luar negeri, atau dari daerah Indonesia yang tidak termasuk daerah pabean.

Pemungutan PPe 1950 dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemungutan sekaligus, dimana hanya dikenakan sekali saja atas hasil akhir. Pemungutan dapat dilakukan pada awal lajur produksi, maupun pada mata rantai berikutnya.

Kedua, menggunakan sistem pemungutan bertingkat. Artinya, pajak dipungut setiap kali ada pemindahan barang-barang ke tingkat berikutnya. Pada setiap penyerahan barang, tidak ada penyesuaian atau pengurangan.

Pajak peredaran dipungut oleh pelaku usaha yang melakukan penyerahan atau penjualan barang atau jasa yang menjadi objek PPe yang telah ditunjuk inspektur.

Berdasarkan Pasal 18 UU Drt 18/1950, pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPe wajib melunaskan pajaknya dengan penyetoran di kas negara dalam 25 hari sesudah akhir tribulan takwim, atau selama mana pajak itu terutang.

Sementara, pelaporan PPe harus dilakukan setiap masa pajak dan harus dilakukan langsung di kantor pajak. Ketentuan penyampaian ini tertuang dalam Pasal 19 UU Drt 12/1950, yang berbunyi:

"bahwa pengusaha yang ditunjuk wajib memberitahukan jumlah pajak yang harus dikenakan pajak kepada inspektur dalam tempo 1 bulan sesudah tribulan takwim berakhir,".

Dalam Pasal 12 UU Drt 18/1950, wajib pajak yang melanggar ketentuan PPe, seperti sengaja memasukkan surat pemberitahuan tidak benar atau kurang lengkap yang menyebabkan kerugian negara, akan dikenakan sanksi berupa dihukum penjara maksimal setahun atau denda maksimal Rp 30.000.

Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Peredaran

Pajak Peredaran 1950
Pajak Peredaran 1950 (Nederlands Fotomuseum/geheugendelpher_nl)

Tidak semua barang dan jasa yang atas penyerahannya dipungut PPe. Berdasarkan Pasal 22 UU Drt 12/1950, objek yang tidak dikenakan pajak peredaran, adalah sebagai berikut:

  1. Penyerahan kapal (bukan kapal pesiar).
  2. Penyerahan barang-barang untuk dikeluarkan langsung ke luar negeri.
  3. Penyerahan barang-barang dengan percuma dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  4. Penyerahan uang, meterai dan merek pajak Indonesia yang dikeluarkan dari pihak pemerintah yang belum terpakai, surat berharga (termasuk obligasi, surat sero dan lain-lain efek).
  5. Penyerahan emas pada atau dari De Javasche Bank menurut cara peraturan yang ditetapkan dalam atau dengan kuasa Ordonansi-Devisen.
  6. Pengadaan, penyerahan dan pelepasan hak-turut dalam perseroan dan perkumpulan.
  7. Pemberian kredit, penyerahan, penguangan dan pembayaran tagihan uang, termasuk peredaran-giro, peredaran-cek dan peredaran rekening-koran.
  8. Asuransi.
  9. Undian.
  10. Jasa dalam perhubungan pos, telegrap dan telepon dan jasa tertentu dari perusahaan pengangkutan untuk kepentingan perhubungan tersebut.
  11. Siaran radio pemerintahan dan dari perkumpulan dan badan yang berhak.
  12. Pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di luar negeri melalui Indonesia ke tempat luar negeri, dan juga pengangkutan orang dan barang-barang dari tempat di Indonesia ke tempat luar negeri atau sebaliknya, satu dan lain jika ternyata dari surat pengangkuran ternyata bahwa tempat yang dituju itu pada permulaan pengangkutan telah ditetapkan.
  13. Persewaan dan penebasan, juga penyerahan dan pelepasan sewa dan tebasan dari barang tetap, kecuali: (a) mesin dan alat perusahaan, (b) kamar yang telah diperaboti dalam hotel, pensiun dan rumah penginapan semacam itu.
  14. Pemberian makan, tempat tinggal dan lain-lain upah berwujud barang menurut kebiasaan kepada orang yang bekerja pada pengusaha.
  15. Jasa yang dibuat oleh pejabat agama dalam jabatannya.
  16. Pemberian pengajaran oleh yayasan dan perkumpulan yang mempunyai hak badan hukum, dalam hal-hal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Objek yang tidak dikenakan pajak peredaran ini kemudian ditambah melalui UU Darurat Tahun 1950. Tambahan objek yang tidak dikenakan PPe tersebut, antara lain:

  1. Penyerahan padi, gabah dan beras, jagung, sago, gaplek, sayur dan buah-buahan yang baru dipetik, roti, susu baru, garam. Bambu, kayu bakar, arang, minyak tanah, gas, elektris, obat-obatan (medicamenten), surat kabar harian, majalah mingguan dan barang-barang yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  2. Penyerahan barang-barang dan melakukan jasa-jasa dalam rumah makan dan penginapan, jika pembayaran-pembayaran dalam hal itu dipungut pajak menurut Pasal 2 dari UU Pajak Pembangunan I.
  3. Penyerahan hasil tembakau, yang dikenakan cukai menurut Ordonansi Cukai tembakau Staatsblad 1932 Nomor 517.
  4. Jasa dokter, dokter gigi dan bidan.
Pajak Peredaran 1950
Pajak Peredaran 1950 (Nederlands Fotomuseum/geheugendelpher_nl)

Berakhirnya Pemberlakuan Pajak Peredaran

PPe merupakan bentuk pungutan yang pemberlakuannya singkat, yakni hanya sembilan bulan sejak diundangkan pada 13 Februari 1950. Penyebabnya, jenis pajak ini dianggap menimbulkan penyimpangan dan tidak berkeadilan, terutama pada sistem pemungutan bertingkat.

Sebab, pungutan yang dilakukan berkali-kali dengan tidak adanya pengurangan pada setiap lajur, menyebabkan penambahan kalkulasi harga barang. Ini menjadikan beban pajak berlipat, melebihi tarif yang sebenarnya berlaku. Beban inilah yang akhirnya harus dipikul oleh konsumen.

Namun, bagi penerimaan negara, PPe memberikan dampak yang signifikan terhadap bertambahnya penerimaan negara yang kala itu baru berjalan 5 tahun sejak kemerdekaan.

Pajak peredaran kemudian digantikan oleh pajak penjualan atau PPn dengan terbitnya UU Darurat Nomor 19 Tahun 1951. Pajak penjualan ini kemudian menjadi cikal bakal PPN yang diterapkan hingga saat ini.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...