Vandalisme dan Penjarahan Merebak, Akankah Sejarah 1998 Kembali Terulang?
Dua dekade lebih berlalu sejak kerusuhan besar Mei 1998 mengguncang Indonesia. Namun, pada tahun 2025 aksi demonstrasi yang diikuti kerusuhan dan penjarahan kembali meletup di berbagai kota besar, memunculkan pertanyaan: Apakah Indonesia akan mengulang sejarah kelam itu?
Kerusuhan tahun 1998 dikenal sebagai salah satu tragedi sosial-politik terbesar dalam sejarah Indonesia, memicu perubahan rezim dan reformasi besar-besaran.
Sementara itu, kerusuhan pada tahun 2025 dipicu oleh kemarahan publik terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan kontroversial pemerintah, serta sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak peka terhadap kondisi rakyat.
Kerusuhan Mei 1998 tidak bisa dilepaskan dari krisis moneter Asia yang dimulai di Thailand. Ketika mata uang baht jatuh, efek domino menghantam Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Menurut Investopedia, kejatuhan baht menyebabkan tekanan spekulatif terhadap rupiah. Pemerintah Indonesia gagal mempertahankan nilai tukar, hingga akhirnya pada awal 1998, rupiah anjlok dari Rp 2.400 menjadi lebih dari Rp 17.000 per dolar AS dengan depresiasi lebih dari 600%.
Dampak ekonomi lainnya adalah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terkontraksi −13,1% pada 1998, ini merupakan kontraksi terdalam dalam sejarah RI. Tak hanya itu, Indonesia juga didera inflasi yang melonjak hingga 77,6%, utang luar negeri mencapai US$ 138 miliar, dengan sebagian besar merupakan utang swasta dan antarbank.
Rentetan Kerusuhan 1998
Akibat rentetan peristiwa jatuhnya ekonomi Indonesia, pada 12–14 Mei 1998, Jakarta dan beberapa kota lain berubah menjadi medan kerusuhan. Kerusuhan menyebar di hampir semua kota besar di Indonesia, Jakarta, Medan, Solo, Surabaya, Palembang, hingga Makassar.
Aksi protes mahasiswa yang sebelumnya damai berubah menjadi gelombang kekerasan massal setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi di Semanggi, pada 12 Mei 1998.
Kemarahan rakyat pun akhirnya memuncak, dengan pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar. Ribuan toko, kendaraan, hingga pom bensin dibakar. Pos polisi di Terminal Grogol pun tak luput menjadi sasaran kemarahan massa.
Akibatnya, ratusan orang tewas, sebagian besar akibat terjebak dalam gedung yang terbakar, seperti Mall Klender di Jakarta Timur. Nilai kerugian yang terjadi dengan adanya kerusakan properti di berbagai daerah akibat kerusuhan pada Mei 1998 diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.
Selain kerusuhan yang merajalela, ada laporan kekerasan seksual yang diduga sistematis terhadap perempuan keturunan Tionghoa. Komnas HAM dan LSM mencatat ratusan perempuan menjadi korban pemerkosaan dan penyiksaan seksual.
Perusakan Hingga Penjarahan di Aksi 2025
Adapun aksi besar yang dimulai dari Senin (25/8) ini awalnya hanya digelar di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta. Aksi yang pada awalnya hanya unjuk rasa damai untuk menyampaikan aspirasi, berakhir ricuh hingga meluas ke berbagai wilayah sekitar.
Jalan protokol, jalur tol, hingga layanan kereta rel listrik (KRL) ikut terdampak akibat bentrokan yang terjadi antara demonstran dan aparat kepolisian.
Aksi unjuk rasa berlanjut pada Kamis (28/8), di mana sejumlah organisasi buruh berkumpul di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan. Mereka menuntut penghapusan outsourcing dan menolak upah murah. Demonstrasi para buruh ditambah dengan bergabungnya rombongan mahasiswa dan pelajar.
Ketegangan meningkat ketika aparat keamanan dari kepolisian mempertebal barisan di pintu masuk. Gesekan tak terhindarkan ketika sejumlah pelajar melempar batu dan botol plastik, polisi merespons dengan menembakkan gas air mata.
Insiden yang menyebabkan seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat kerusuhan demo di Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Jumat (28/8) malam, memicu kemarahan massa.
Kemarahan dan kegusaran akhirnya meluas, beberapa fasilitas umum seperti tujuh pintu gerbang tol termasuk Slipi, Pejompongan, Semanggi, dan Kuningan dibakar habis. Markas Komando Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat pun digeruduk massa.
Halte-halte TransJakarta ikut menjadi sasaran dengan tujuh halte dibakar, dan puluhan lainnya dirusak, mengalami vandalisme, hingga CCTV, lampu penerangan, dan penghalang jalan ikut diratakan oleh massa.
Terbaru, beberapa rumah dari pejabat, mulai dari anggota DPR hingga menteri menjadi sasaran amukan massa. Mereka berusaha membobol melakukan kerusakan hingga mengambil beberapa barang berharga di rumah tersebut.
Beberapa di antaranya adalah rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di kawasan Bintaro, dua rumah milik anggota DPR Ahmad Sahroni di Jakarta Utara, kediaman anggota DPR Eko Patrio di Kuningan, Jakarta Selatan dan rumah milik selebritas Uya Kuya, yang juga merupakan anggota DPR.


