Rancangan Perpres EBT Bertabur Insentif, Mengapa Pengusaha Belum Puas?

Image title
10 Agustus 2020, 19:39
esdm, energi baru terbarukan, panas bumi
123RF.com
Ilustrasi, proyek panas bumi. Pemerintah rencananya akan menerbitkan Peraturan Presiden mengenai Energi Baru Terbarukan. Namun, aturan yang penuh intensif itu tak didukung seluruh pelaku usaha EBT.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau  ESDM telah selesai menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Baru Terbarukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pemerintah menjanjikan banyak insentif dalam rancangan beleid itu untuk menarik investasi di EBT.

Meski begitu, pelaku usaha tak sepenuhnya puas dengan rancangan aturan tersebut. Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) bahkan mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif terkait rancangan perpres itu. 

Advertisement

Dalam suratnya, ADPPI meminta pemerintah tak lagi mengatur tata kelola panas bumi. Menurut Ketua Umum ADPPI Hasauddin, tata kelola pengusahaan panas bumi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017.

Oleh karena itu, tidak ada kekosongan hukum yang mengharuskan tata kelolanya diatur melalui Perpres. Pemerintah pun hanya perlu membuat satu pasal yang menyatakan panas bumi diatur melalui peraturan tersendiri sesuai UU Panas Bumi. Hal itu untuk sinkronisasi antara Perpres dengan aturan di atasnya.

Jika tidak, ADPPI menilai akan terjadi tumpang tindih pengaturan dan pertentangan dalam tata kelola panas bumi. Hal itu bakal menimbulkan ketidakpastian pengusahaan panas bumi dan persoalan hukum.

“Karena sudah ada UU dan PP, maka tarif panas bumi hanya perlu dibuat Permen, tidak perlu ada Perpres EBT,” ujar Hasanuddin kepada Katadata.co.id, Senin (10/8).

Apalagi dalam rancangan perpres itu, harga beli listrik oleh PLN diatur mengenai harga pembelian tenaga listrik dan penggantian biaya eksplorasi dan infrastruktur panas bumi. Padahal dalam PP nomor 7 Tahun 2017 tentang panas bumi telah diatur mengenai harga energi panas bumi.

Dalam PP Nomor 17 Tahun 2017, harga panas bumi paling sedikit mempertimbangkan biaya produksi uap dan/atau listrik, serta daya tarik investasi. Berdasarkan ketentuan itu, penentuan tarif beli listrik panas bumi dilaksanakan melalui mekanisme lelang wilayah kerja dan penugasan panas bumi dengan mempertimbangkan harga keekonomian.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan pihaknya telah mengusulkan skema feed in tariff untuk proyek panas bumi sejak tahun lalu kepada pemerintah. Dalam usulan API, feed in tariff diatur berdasarkan besaran kapasitas produksi uap panas bumi.

Dengan begitu, pengembang bisa mengetahui juga tarif yang akan didapat jika hasil eksplorasi tidak sesuai target. Pengembang pun sudah bisa memperhitungkan keekonomian proyek sejak mengeluarkan investasi.

Namun, pemerintah tidak menerima usulan API dan berencana menetapkan skema Harga Penawaran Tertinggi (HPT) untuk harga beli listrik dari proyek panas bumi. Padahal, menurut dia,  pengembangan panas bumi tergantung pada tarif pembelian listrik dan kepastian regulasi. Apalagi, ada risiko dan biaya yang harus ditangguh oleh pengembang.

“Perpres tidak akan mengakomodir skema feed in tariff untuk panas bumi. Usulan Kementerian ESDM itu staging Harga Patokan Tertinggi,” ujar Prijandaru kepada Katadata.co.id pada Kamis (6/8).

Berdasarkan rancangan Perpres per 21 Juli 2020 yang diterima Katadata.co.id, Kementerian ESDM mengusulkan empat skema harga pembelian tenaga listrik, yaitu harga feed in tariff, harga penawaran terendah, harga patokan tertinggi, atau harga kesepakatan.

Skema harga patokan tertinggi ditujukan untuk PLTP atau pembelian tenaga uap. Skema tersebut berlaku dengan ketentuan sebagai harga dasar, eskalasi dalam perjanjian jual beli listrik atau perjanjian jual beli uap, dan harus persetujuan harga dari Menteri.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement