Anggota DPR Sebut Potensi Masalah jika RI Berlakukan Pajak Digital

Cindy Mutia Annur
10 Juni 2020, 21:29
DPR, pajak digital, netflim, gim online, teknologi
Google Play Store
Ilustrasi, Netflix. DPR menilai penerapan pajak untuk produk digital seperti Netflix, Spotify, hingga gim online bisa menyebabkan Indonesia mendapat tekanan dari negara lain.

DPR menyatakan Pajak Petambahan Nilai (PPN) 10% terhadap produk digital seperti Netflix, Spotify, Zoom, hingga game online bisa menekan pemerintah. Kebijakan tersebut bahkan dinilai bisa menimbulkan dampak negatif hingga merugikan negara.  

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan mengatakan ada sejumlah poin yang menjadi persoalan dalam PMK 48/2020 yang diberlakukan 1 Juli 2020 nanti. Pertama, pelaku usaha dari luar negeri seperti Zoom, Netflix dan lainnya bisa menekan Indonesia melalui pemerintahan di masing-masing negaranya.

"Terutama pelaku usaha digital dari Tiongkok yang memang pemerintahnya memiliki peran besar," ujar Heri dalam keterangan tertulis, Rabu (10/6). 

Kedua, pemerintah harus hati-hati memungut pajak dari pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang memiliki dampak ekonomi signifikan (significant economic presence). Pasalnya, pemerintah tidak memiliki data akurat terkait PMSE.

"Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan, sehingga harus benar-benar tepat sasaran," ujar Heri.

Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata alias bukan seperti aset atau barang yang berwujud. Sehingga, pemerintah harus lebih detail dalam mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen.

"Mungkin masih ada celah di dalam PMK bagi transaksi PMSE, pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama terkait perusahaan-perusahaaan besar dari luar negeri," ujar Heri.

Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya dapat menerapkan pajak digital secara bertahap. Sehingga ada layanan digital yang masih bisa memberikan produk murah kepada masyarakat.

(Baca: RI Berpotensi Raup Pajak Rp 10,3 T dari Netflix hingga Game Online)

Selain itu, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait pajak digital. Dia memperingatkan, kebijakan tersebut tidak boleh memicu negara lain menerapkan hal yang lebih besar dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia. Padahal, PMK 48/2020 bertujuan menambah penerimaan pajak. 

Dia pun meminta pemerintah mengomunikasikan penerapan pajak digital kepada negara lain. Adapun, pelaku usaha PMSE biasanya berasal dari Amerika Serikat, Australia, Tiongkok, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand, termasuk anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC) dan European Chamber.

"Pemerintah juga harus menyosialisasikan mekanisme, ketentuan dan kriteria Significant Economic Presence , Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi," ujar Heri.

Sebelumnya, Country Head Viu Indonesia Varun Mehta belum bisa menjabarkan skema pemungutan PPN kepada konsumen. Namun, perusahaan berkomitmen untuk menyediakan layanan dengan tarif kompetitif di Tanah Air.

"Viu memiliki komitmen memberikan value yang menarik bagi pelanggan, pada titik harga yang atraktif bagi konsumen. Selain itu, sejalan dengan rencana bisnis jangka panjang kami untuk pasar Indonesia," ujar Varun kepada Katadata.co.id, Jumat (29/5). 

(Baca: Trump akan Investigasi Aturan Pajak Digital RI, Kemenkeu Siap Menjawab)

Halaman:
Reporter: Cindy Mutia Annur
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...