Perempuan Penambang Emas Hadapi Bahaya Kesehatan dan Termarjinalkan

Image title
15 Juli 2020, 14:47
pemberdayaan wanita, pertambangan, kesehatan, lingkungan, minerba
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Sejumlah ibu menambang emas secara tradisional dengan mendulang, di aliran Sungai Batang Kuantan, Nagari Silokek, Kab.Sijunjung, Sumatera Barat, Minggu (17/11/2019). Perempuan penambang emas memiliki rentan terpapar bahaya merkuri dan termarjinalkan.

Pertambangan emas skala kecil masih marak terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Apalagi banyak perempuan dan anak-anak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yun Insiani mengatakan terdapat 850 titik penambangan emas skala kecil yang tersebar di 180 kabupaten/kota dari Aceh hingga Papua setelah reformasi politik pada 1998. Kegiatan tersebut menjadi sumber penghasilan 300-500 ribu penduduk Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 30% merupakan perempuan. Yun menyebut keterlibatan perempuan dalam pertambangan emas skala kecil dipengaruhi faktor ekonomi, yaitu kemiskinan dan alternatif mata pencarian. 

"Perempuan menjadi pelaku penting karena berkontribusi terhadap ekonomi keluarga dan komunitas lokal," ujar Yun dalam seminar virtual "Partisipasi Perempuan dalam Pemberdayaan Komunitas Penambang" yang diselenggarakan Katadata, Rabu (15/7).

Padahal, kegiatan tersebut berdampak negatif bagi perempuan. Menurut dia, perempuan penambang tidak mendapat manfaat dari segi kesehatan, pendidikan, permodalan, hingga pelatihan. Pada praktiknya, perempuan justru menghadapi banyak tantangan.

Yun menjelaskan, perempuan harus bekerja sama beratnya dengan laki-laki, namun diberi upah lebih rendah. Perempuan juga harus bekerja lebih lama untuk menambang emas.

Selain itu, perempuan penambang kerap melakukan pekerjaan berbahaya seperti memecahkan atau memindahkan batu, serta menggunakan merkuri untuk mendapatkan emas. Padahal merkuri berbahaya bagi perempuan subur dan hamil.

"Itu mejadi tantangan dalam pembangunan ekonomi, serta ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan," kata dia.

(Baca: RI Masuk Tiga Besar Penghasil Merkuri Dunia, KLHK Awasi Penambang Emas)

Di sisi lain, Yun mengatakan, kegiatan pertambangan emas skala kecil dapat merusak lingkungan secara serius karena penggunaan merkuri. Pemerintah pun berupaya meminimalkan dan menghilangkan penggunaan merkuri dalam pertambangan.

Pemerintah telah meratifikasi konvensi Minamata melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2017. Mandat tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden nomor 21/2017 yang bertujuan mengurangi dan menghapuskan penggunaan merkuri di tingkat nasional secara terpadu.

Dengan dampak tersebut, Yun mengatakan pemerintah bersama United Nations Development Programme (UNDP)  mendukung proyek GOLD-Ismia. Melalui proyek tersebut, dia berharap penambang perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender.

"Saya berharap perempuan dapat berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat di sektor pertambangan. Sehingga kita bisa berbuat lebih banyak lagi bagi kesejahteraan penambang emas skala kecil," kata dia.

Deputy Resident Representative UNDP Indonesia Sophie Kemkhadze mengatakan isu peran perempuan dalam lingkungan pertambangan sangat penting. Apalagi, wanita kerap ditinggalkan ketika berbicara mengenai teknologi, berbagi pengetahuan, aspek keselamatan, hingga finansial.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...