BEI dan OJK Godok Aturan Market Maker agar Pasar Saham Lebih Likuid
Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menggodok aturan mengenai market maker atau pelaku pasar yang diperkirakan bakal rampung di awal semester kedua tahun ini. Peraturan yang tengah digodok bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini diharapkan mampu meningkatkan likuiditas perdagangan saham di pasar modal.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono W. Widodo menjelaskan, bursa akan menawarkan kepada beberapa Anggota Bursa (AB) untuk menjadi market maker. "Ditawarkan ke AB siapa yang mau menjadi market maker. Akan ada hak dan kewajiban bagi AB tersebut," katanya di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (10/1).
Dia menjelaskan bahwa market maker adalah AB yang ditunjuk oleh bursa untuk selalu menyediakan kuotasi bid and offer dalam jumlah yang memadai. Ini artinya market maker akan bertindak sebagai standby buyer and seller untuk saham perusahaan yang akan ditentukan bursa.
Tujuannya yaitu untuk meningkatkan likuiditas serta kualitas perdagangan di pasar modal dalam negeri. Pada akhirnya, dengan penerapan aturan ini, diharapkan dapat meningkatkan jumlah investor di pasar modal melalui mekanisme pasar seiring dengan pasar yang lebih likuid.
(Baca: BEI Catat ada 41 Saham yang Terindikasi 'Gorengan' Sepanjang 2019)
Dalam pelaksanaan dan pengembangannya, bursa akan terus mengkaji aturan mengenai market maker. Laksono memperkirakan untuk awal, akan ada 20 sampai 40 perusahaan yang masuk daftar emiten yang bisa ditransaksikan oleh market maker.
Bursa bakal memiliki hak untuk menentukan emiten apa yang bisa masuk ke dalam daftar tersebut. Pemilihannya, berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang saat ini tengah digodok.
Salah satu kriterianya yaitu memiliki fundamental yang bagus namun sahamnya tidak likuid ditransaksikan di pasar sehingga harganya kerap stagnan. "Kalau perusahaannya (secara fundamental) tidak bagus, mau di-market-maker-kan, tujuannya jadi salah," katanya.
Emiten dengan fundamental yang bagus tapi tidak likuid di pasar, berbanding terbalik dengan saham yang kerap disebut gorengan. Laksono mengatakan, saham gorengan memiliki volatilitas harga yang tinggi namun tidak didukung dengan fundamental dan informasi yang memadai.
(Baca: BEI Bakal Ungkap Data Transaksi Saham Jiwasraya kepada BPK)
Dia pun menambahkan, aturan ini memang baru digodok bersama OJK sekitar akhir tahun lalu dan membutuhkan proses panjang, karena perlu ada penyesuaian pada Aturan II-A Tahun 2018 Mengenai Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas. Sehingga, paling cepat aturan ini bisa keluar pada pertengahan tahun ini.
Meski begitu, Laksono menilai aturan terkait market maker ini tidak susah untuk dibuat karena sudah diterapkan di banyak negara. "Ini peraturan sudah ada di mana-mana tapi di Indonesia belum ada yang resmi. Jadi, tidak susah untuk diimplementasikan," katanya.