Roller Coaster Saham RIMO di Tangan Benny Tjokro
Saham PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) jadi primadona belakangan ini di bursa saham, karena bergerak seperti roller coaster. Dua pekan setelah mencetak rekor tertinggi, harga sahamnya terus melorot tajam sampai sekarang. Fluktuasi harga saham perusahaan yang baru beralih fokus bisnis ini ditengarai tidak sekadar faktor prospek usahanya, tapi ada peran Benny Tjokro, investor kawakan yang kerap menjalankan modus sejenis.
Pada 27 Oktober lalu, harga saham emiten berkode RIMO ini mencapai rekor tertingginya Rp 660 per saham. Rekor itu diukir setelah selama sepekan harga sahamnya terus naik 38% dari Rp 478 per saham pada 18 oktober lalu.
Namun, sejak mencetak rekor Rp 660, harga saham RIMO malah melorot tajam. Sepekan berselamg, pada 6 November lalu, harga sahamnya cuma Rp 254 per saham atau turun 62%. Sehari kemudian, otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan perdagangan (suspend) saham ini karena tidak ada informasi yang cukup memadai untuk menjelaskan penurunan harga sahamnya.
Saat diperdagangkan kembali sehari setelah suspend, 8 November lalu, harga saham RIMO kembali turun 24,4% menjadi Rp 192 per saham. Alhasil, BEI kembali membekukan perdagangan sahamnya hingga saat ini dan meminta manajemen RIMO memberikan paparan publik.
Dalam paparan publiknya, Jumat lalu (10/11), manajemen RIMO mengaku tidak punya rencana aksi korporasi yang dapat mempengaruhi harga sahamnya. "Penurunan harga saham terjadi karena mekanisme pasar," kata manajemen RIMO.
Padahal, jika menilik laporan keuangan kuartal III-2017 RIMO yang kinclong, seharusnya investor memburu saham ini sehingga harganya naik. Penjualan perusahaan melonjak 2.600 kali lipat dibandingkan kuartal III-2016 menjadi Rp 247,08 miliar.
Sedangkan laba bersihnya mencapai Rp 116,43 miliar, berbalik 180 derajat dari rugi yang diderita pada periode sama 2016 sebesar Rp 2 triliun. Pencapaian itu didukung oleh peningkatan pendapatan lain-lain RIMO, yaitu bunga deposito Rp 13,8 miliar dan keuntungan investasi anak perusahaan Rp 62,95 miliar.
Peruntungan RIMO memang berubah tahun ini. Pada Maret 2017, perusahaan ini resmi mengubah haluan bisnisnya dari sektor retail ke properti dengan mengakuisisi PT Hokindo Properti Investama sebesar Rp 3,94 triliun. RIMO pun memiliki lini usaha yang terentang dari hulu ke hilir, yaitu pengembangan lahan, pembangunan properti, dan peretail bahan bangunan.
Untuk merealisasikan aksi korporasi itu, RIMO menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 4,1 triliun. Meski menimbulkan efek dilusi 99%, para pemegang saham eksisting RIMO tidak mengeksekusi haknya. Hampir seluruh saham baru itu diborong oleh Benny Tjokro selaku pembeli siaga (stand-by buyer). Kebetulan, Benny juga pemilik Hokindo.
Sejak itulah, harga saham RIMO bergerak naik dari Rp 260 per saham hingga level tertinggi Rp 660 per saham pada 27 Oktober lalu. Artinya, harganya naik lebih dua kali lipat dalam kurun tujuh bulan.
Namun, harga saham RIMO terus merosot dalam tiga pekan terakhir ini seiring aksi jual saham yang dilakukan Benny. Pada Jumat lalu (10/11) misalnya, dia melego 7,19 juta saham RIMO. Per 10 November lalu, Benny mengempit 39,24% saham RIMO atau berkurang hampir separuh dari kepemilikannya pasca rights issue Maret lalu sebanyak 76,47% saham.
Benny membantah, akrobat harga saham RIMO merupakan bagian dari skenarionya untuk meraup untung. Menurut dia, penurunan tajam harga saham RIMO saat ini karena aksi jual biasa dan hal normal dalam perdagangan saham. “Itu hanya banyak yang menjual saja, bukan saya," katanya seperti dikutip Kontan.
Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi melihat, kenaikan harga saham RIMO sebelumnya akibat dari lonjakan kinerja penjualan dan laba perusahaan yang cukup signifikan pasca mengakuisisi Hokindo.
Tapi, setelah pengendali RIMO menjual separuh kepemilikan sahamnya, banyak investor yang beranggapan akan terjadi aksi ambil untung. “Akhirnya, investor banyak yang berspekulasi (menjual sahamnya),” katanya. Bahkan, beberapa investor memilih cut loss.
Apalagi, menurut sumber D-Inside, para investor sudah lama mengenal aksi Benny di bursa saham. Pada Maret 1997, Benny dan adiknya Teddy Tjokro pernah menggoncang pasar modal karena kasus Bank Pikko. Harga saham bank itu naik 20%. Belakangan diketahui Benny bersama dengan afiliasinya, memecah order beli dan jual saham Bank Pikko melalui sejumlah perusahaan efek.
Pembentukan harga secara semu itu menyebabkan banyak investor melakukan spekulasi melalui transaksi short selling, yaitu menjual saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi dengan harapan akan dibeli kembali saat harganya turun. Saham itu biasanya dipinjam dari broker atau perusahaan sekuritas.
Akibatnya, 52 dari 127 perusahaan sekuritas mengalami gagal serah saham Bank Pikko. Otoritas pasar modal kala itu memberi sanksi kepada Benny untuk mengembalikan keuntungan dari transaksi Bank Pikko sebesar Rp 1 miliar kepada negara.
Nama Benny juga muncul saat fluktuasi saham PT Hanson International Tbk (MYRX). Identik seperti RIMO, Hanson yang semula bernama PT Mayeretex Indonesia Tbk ini berganti haluan tahun 2007 dari tekstil menjadi energi dan mineral. Perubahan usaha itu diikuti dengan rights issue dan sempat membuat harga saham Hanson naik tinggi.
Tapi, penurunan harga komoditas turut memukul kinerja Hanson dan harga sahamnya. Tahun 2013, laba Hanson merosot hampir 100% menjadi hanya Rp 200 juta. Belakangan, perusahaan ini mengubah lagi fokus bisnisnya ke sektor properti.