Potret Emiten Batu Bara 2020: Permintaan Lesu, Kinerja Anjlok
Beberapa emiten batu bara di Bursa Efek Indonesia telah menyampaikan laporan keuangan 2020. Hasilnya, pendapatan dan laba bersih emiten-emiten batu bara tahun lalu mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan kinerja emiten batu bara, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), utamanya disebabkan pandemi Covid-19 yang menyebar luas di dunia. Sehingga ada penurunan konsumsi energi dan harga batu bara yang mengalami penurunan.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan pandemi Covid-19 telah berimbas menurunnya konsumsi energi. Ini akibat diberlakukannya lockdown di beberapa negara tujuan ekspor seperti Tiongkok dan India.
"Begitu juga dengan kondisi di dalam negeri yang menjadi pasar mayoritas Bukit Asam. Turunnya konsumsi listrik di wilayah besar Indonesia seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa dan Bali juga berdampak turunnya penyerapan batu bara domestik," kata Arviyan dalam konferensi pers, Jumat (12/3).
Selain permintaan, harga batu bara tahun lalu, juga menjadi tantangan tersendiri bagi Bukit Asam. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batu bara acuan (HBA) sangat berfluktuasi sepanjang 2020.
Harganya, berawal di angka US$ 65,93 per ton di awal Januari 2020 dan sempat menyentuh titik di bawah US$ 50 per ton pada September 2020. Rata-rata HBA sepanjang 2020 merupakan yang terendah selama 4 tahun terakhir dengan berada di level US$ 58,17 per ton.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Energy Garibaldi Thohir mengaku harus menghadapi banyak tantangan pada 2020. "Dari pandemi global, sampai cuaca yang tidak mendukung," katanya dalam siaran pers yang terbit 4 Maret 2021.
Sepanjang tahun lalu, pendapatan usaha Adaro Energy turun 27%. Ini diakibatkan adanya penurunan harga batu bara hingga 18% dan menurunnya volume penjualan 9%.
Manajemen Indo Tambangraya juga mengatakan wabah Covid-19 sangat mempengaruhi permintaan global atas barang dan jasa. "Serta komoditas mineral dan supply chain," kata manajemen dalam laporan keuangan.
ITMG telah mengambil sejumlah langkah dalam menghadapi dampak Covid-19 terhadap kegiatan operasional. Namun, dampak jangka panjang pandemi hingga saat ini sulit untuk diprediksi.
Meski begitu, Analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu memperkirakan pada 2021 kinerja emiten bakal meningkat. Dia mengungkapkan berbagai faktor pendorong, salah satunya harga batu bara yang diprediksi menyamai rata-rata 2019 di kisaran US$ 75-80 per ton.
Dengan kembali pulihnya permintaan batu bara yang mulai terjadi sejak paruh kedua tahun lalu, Samuel Sekuritas memperkirakan rata-rata harga batu bara pada 2021 bisa stabil pada level US$ 75 per ton.
"Selain dari harga batu bara, peningkatan produksi dari masing-masing produsen juga dapat mendorong peningkatan kinerja pada tahun ini," kata Dessy kepada Katadata.co.id, Jumat (12/3).
Kinerja Emiten Batu Bara 2020
Adaro Energy (ADRO)
Berdasarkan laporan keuangan, Adaro mengantongi pendapatan usaha US$ 2,53 miliar atau setara Rp 35,48 triliun (kurs: Rp 14.000 per US$) sepanjang 2020. Capaian ini 26,7% dibandingkan 2019 yang mencapai US$ 3,45 miliar.
Pendapatan Adaro 2020 mayoritas berasal dari penjualan batu bara pada pihak ketiga, yang turun 25,95% menjadi US$ 2,33 miliar. Penurunan tersebut disebabkan penjualan batu bara ekspor yang anjlok 29,95%.
Karena penurunan signifikan pada pendapatan tersebut, menyebabkan Adaro hanya mampu mengantongi laba bersih senilai US$ 146,92 juta atau setara Rp 2,05 triliun saja. Capaian tersebut mengalami penurunan signifikan hingga 63,65% dibandingkan 2019 yang mencapai US$ 404,19 juta.
Indo Tambangraya Megah (ITMG)
Indo Tambangraya hanya mampu mengantongi pendapatan bersih senilai US$ 1,18 miliar atau setara Rp 16,59 triliun (kurs: Rp 14.000 per US$). Pendapatan bersih tersebut turun hingga 30,9% dari pencapaian 2019 yang mencapai US$ 1,71 miliar.
Mayoritas pendapatan Indo Tambangraya berasal dari penjualan batu bara pada pihak ketiga, senilai US$ 1,07 miliar. Namun, sumber utama pendapatan perusahaan tersebut harus mengalami penurunan 29,08% secara tahunan.
Tingginya beban membuat penurunan laba kotor perusahaan cukup tinggi, hingga 39,04% menjadi US$ 199,15 juta tahun lalu.
Akibatnya Indo Tambangraya hanya mampu mengantongi laba bersih senilai US$ 39,46 juta tahun lalu atau setara Rp 552,56 miliar. Laba bersih tersebut turun hingga 69,5% dibandingkan periode sama 2019 senilai US$ 129,42 juta.
Bukit Asam (PTBA)
Pendapatan Bukit Asam sepanjang 2020 turun 20,43% menjadi Rp 17,32 triliun. Pendapatan Bukit Asam mayoritas berasal dari penjualan batu bara, baik ke pihak berelasi maupun ketiga. Pendapatan dari pihak berelasi mencapai Rp 8,02 triliun atau turun 29,68%. Sementara dari pihak ketiga senilai Rp 9,04 triliun atau turun 9,34% secara tahunan.
Bukit Asam mampu mencatatkan beban pokok pendapatan senilai Rp 12,75 triliun pada 2020 atau turun 10% dibanding 2019. Sehingga, laba bruto Bukit Asam sepanjang 2020 senilai Rp 4,56 triliun atau turun hingga 40% secara tahunan.
Laba bersih Bukit Asam pada 2020 pun tercatat mengalami penurunan signifikan mencapai 41,17% secara tahunan. Perusahaan milik negara tersebut hanya mengantongi laba bersih Rp 2,38 triliun, sedangkan 2019 mencapai Rp 4,05 triliun.