Harga Saham Bukalapak Anjlok hingga Batas Bawah, Bagaimana Prospeknya?
Harga saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) terjun bebas ke level Rp 426 pada perdagangan Selasa (7/12) hari ini. Harganya berada di titik terendah sejak harga penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) pada 6 Agustus lalu sebesar Rp 850.
Pada siang hari, harga saham anak usaha Grup Emtek ini melorot 6,58% atau 30 poin, hingga menyentuh batas terbawah alias auto reject bawah (ARB).
Berdasarkan data RTI, harga saham dibuka di level Rp 432 pada perdagangan hari ini, atau menurun dari harga penutupan perdagangan kemarin, Rp 456. Menurut data BEI, saham Bukalapak diperdagangkan dengan volume 148,89 juta saham dan frekuensi 6.133 kali. Nilai saham yang ditransaksikan mencapai Rp 63,58 miliar.
Kapitalisasi pasar emiten marketplace ini merosot hingga menjadi Rp 43,9 triliun. Padahal, kapitalisasi pasar saat pencatatan perdana mencapai Rp 87,6 triliun. Berdasarkan histori, harga sahamnya telah anjlok 52,67% dalam tiga bulan terakhir, dan melorot 39,57% dalam satu bulan ke belakang.
Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani mengatakan, berdasarkan analisis teknikal, harga saham Bukalapak masih akan mengalami tren penurunan.
"Kalau secara analisis teknikal, saya lihat masih downtrend (mengalami tren penurunan)," ujar Hendriko kepada Katadata.co.id, Selasa (7/12).
Kendati demikian, ada potensi terjadi pembalikan ke atas atau technical rebound dalam waktu dekat. Hal ini melihat penurunan yang terjadi sudah cukup signifikan, dan hari ini ditutup dengan stochastic golden cross.
"Tidak ada level support pada BUKA karena sudah menembus all time low-nya (terendah sepanjang masa), sedangkan resisten di level Rp 500," ujarnya.
Sebelumnya, Manajemen Bukalapak yang diwakili Sekretaris Perusahaan Perdana A. Saputro mengatakan, sentimen global menjadi penyebab penurunan saham Bukalapak. Pasalnya, kinerja keuangan perusahaan semakin membaik.
"Berdasarkan analisis manajemen, penurunan ini sebagian disebabkan oleh perubahan sentimen global," kata Perdana dikutip dari keterbukaan informasi, Jumat (3/12).
Menurut dia, secara global terdapat tren kenaikan inflasi baru-baru ini yang memicu pengetatan dari bank-bank sentral di seluruh dunia. Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed), sebagai contoh, menerapkan tapering off atau pengurangan stimulus moneter.
"Akibatnya, terlihat ada perubahan perilaku investor di perusahaan teknologi yang secara historis berusaha untuk memanfaatkan pergerakan likuiditas yang tinggi dan adanya tingkat suku bunga rendah," ujar Perdana.
Selain pengetatan kebijakan, perubahan risiko pandemi Covid-19 baru-baru ini, sehubungan dengan timbulnya varian baru Omicron juga telah menambah volatilitas pasar. Menurut Perdana, sentimen tidak hanya untuk pasar teknologi dan Indonesia saja, tapi untuk pasar ekuitas global.
Saat ini, Bukalapak mengklaim posisi kas perusahaan sangat kuat meski baru IPO. Dengan demikian, manajemen meyakini Bukalapak dapat menghadapi kondisi yang berbeda dibandingkan dengan perusahaan teknologi pada umumnya. "Pada dasarnya, kami percaya bahwa perseroan tetap dalam arah dan koridor yang tepat," kata Perdana.
Penjelasan Bukalapak soal harga sahamnya tersebut disampaikan setelah Bursa Efek Indonesia mempertanyakan melalui Surat BEI Nomor S09077/BEI.PP2/12-2021 tertanggal 1 Desember 2021 tentang Permintaan Penjelasan Bursa atas Volatilitas Harga Transaksi Efek.
Berdasarkan laporan keuangan, Bukalapak masih membukukan rugi bersih Rp 1,12 triliun per September 2021. Namun, nilai kerugiannya menyusut 19,17% dibandingkan periode sama tahun lalu yang merugi Rp 1,39 triliun.
Saat itu, Bukalapak meraih pendapatan Rp 1,34 triliun dalam sembilan bulan tahun ini. Pendapatan tersebut tumbuh 42,1 % dibanding pendapatan periode sama 2020.
Total pendapatan Bukalapak terdiri dari tiga sektor bisnis. Pertumbuhan pendapatan paling signifikan berasal dari pendapatan mitra sebesar Rp 496,7 miliar atau tumbuh 322,82 %. Bisnis marketplace menyumbang pendapatan Rp 780,41 miliar atau tumbuh 5,18 %. Sedangkan pendapatan dari BukaPengadaan Rp 70,56 miliar, malah turun 20,67 % dari periode sama 2020.