OJK: Aturan Delisting Emiten 'Zombie' Jadi Edukasi Risiko Berinvestasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan Peraturan OJK (POJK) No. 3-2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal diterbitkan sebagai upaya edukasi kepada investor terkait risiko likuidasi di pasar modal.
POJK bertujuan untuk melindungi investor dari emiten yang tak aktif layaknya mayat hidup atau zombie company. Dalam aturan itu, emiten bermasalah yang masih melantai di bursa diwajibkan untuk keluar dari bursa (delisting) dan membeli sahamnya kembali dari masyarakat (buyback) atau melikuidasi asetnya untuk mengembalikan dana ke publik.
Jika emiten tidak mampu melakukan buyback, emiten akan mengajukan pailit dan melikuidasi asetnya sesuai dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dalam proses ini, pemegang saham tidak menjadi prioritas bagi emiten yang bersangkutan.
"Tentu akan didahulukan kreditur, kalau masih ada sisa (dana) akan jatuh ke pemegang saham. Ini bagian edukasi supaya tidak ada pandangan investor (pasar modal) tidak akan rugi (saat emiten pailit)," kata Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfi Zain Fuady dalam Gathering Media 2021, Kamis (9/12).
POJK No. 3-2021 akan berlaku bagi emiten jika terdapat perintah dari otoritas berwenang untuk mengubah status terbuka menjadi perseroan tertutup. Kondisi lainnya, sudah tidak beroperasi secara penuh selama paling singkat tiga tahun terakhir.
Luthfi mengatakan, kebijakan ini memang tidak terlalu menguntungkan bagi investor. Namun, kebijakan ini memberikan jalan keluar atau exit policy bagi emiten bermasalah.
Di sisi lain, beleid ini tidak mengatur jangka waktu likuidasi yang harus dilakukan emiten. Pasalnya, aset yang dimiliki emiten bersangkutan dapat memiliki sengketa atau memiliki harga yang tidak optimal. "Ini tantangan (bagi petugas) likuidasi dan harus disesuaikan dan sesuai dengan aturan," ucap Luthfi.
Sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK Djustini Septiana mengatakan POJK No. 3-2021 membuat investor memiliki wadah dan pasar untuk melakukan transaksi sahamnya. Jika tidak listing di bursa, maka transaksi hanya bisa dilakukan di pasar negosiasi yang jauh dari pengawasan OJK.
"Perusahaan publik kan harusnya terdaftar, listing di bursa juga. Bukan sekadar menumpang di OJK, yang penting sudah menjadi perusahaan publik. Ini yang menjadi tidak sehat," kata Djustini.
Perintah OJK ini wajib ditindaklanjuti oleh bursa untuk menghentikan perdagangan efek (suspensi) sesegera mungkin paling lambat pada hari berikutnya, setelah bursa menerima tembusan perintah OJK tersebut.
Perubahan status atas perintah OJK ini wajib disertai tindakan perusahaan terbuka untuk beberapa hal. Pertama, memperoleh persetujuan RUPS. Kedua, mengumumkan kepada masyarakat sesegera mungkin paling lambat dua hari kerja setelah diterimanya perintah OJK.
"Terakhir, melakukan pembelian kembali atas seluruh saham pemegang saham publik sehingga jumlah pemegang saham menjadi di bawah 50 pihak atau jumlah lain ditetapkan OJK,"kata Djustini.