BEI Siapkan 'Karpet Merah' IPO Unicorn, GoTo Belum Masuk Daftar
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menyiapkan sejumlah aturan baru untuk menyambut perusahaan-perusahaan rintisan bervaluasi di atas US$ 1 miliar atau unicorn di bidang teknologi melantai di dalam negeri. Namun, BEI menyebut belum ada unicorn yang masuk dalam pipeline untuk menggelar IPO pada tahun depan, termasuk GoTo.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan telah memberikan dukungan agar semakin banyak perusahaan ekonomi baru atau teknologi menjadi perusahaan publik. Salah satu fasilitas yang telah disiapkan adalah indeks baru.
"Kami kini memiliki satu indek khusus untuk perusahaan-perusahaan teknologi, yaitu IDX TECHNO," kata Yetna dalam Bisnis Indonesia Bussiness Challange 2022, Rabu (15/12).
Berdasarkan data Stockbit, baru ada 25 emiten yang ada dalam IDX TECHNO. Emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar adalah PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) sebesar Rp 134,63 triliun, sedangkan PT Bukalapak.com Tbk menduduki peringkat ketiga dengan kapitalisasi pasar Rp 47,2 triliun.
BNI Sekuritas memproyeksikan, terdapat empat unicorn yang kemungkinan melantai pada 2022 dan menjadi pendorong utama indeks. Perusahaan hasil penggabungan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dan PT Tokopedia atau GoTo diproyeksikan akan melantai pada paruh pertama 2022. Disusul PT Sicepat Ekspres, PT Traveloka Indonesia, dan PT Global Tiket Network (Tiket.com).
Total valuasi keempat unicorn ini diperkirakan mencapai US$ 36,49 miliar. Dengan melantainya keempat unicorn tersebut, BNI Sekuritas memperkirakan kontribusi indeks teknologi akan naik dari posisi 5% pada saat ini menjadi 11%. Angka itu setara dengan indeks teknologi di bursa Jepang dan Eropa Barat.
GoTo memiliki valuasi tertinggi di antara unicorn lain yang akan melantai tahun depan atau senilai Rp 32 triliun. Sementara itu, valuasi Traveloka menduduki peringkat kedua senilai Rp 2,7 triliun, lalu Tiket.com senilai Rp 1 triliun, dan Sicepat di rentang Rp 744 miliar sampai Rp 1 triliun.
Selain indeks baru, BEI juga telah menyiapkan perhitungan baru agar perusahaan teknologi dapat menjadi anggota indeks yang bergengsi, seperti LQ45 atau IDX30. Perhitungan ini disebut dengan fast entry.
Pada umumnya, sebuah emiten hanya akan diukur berdasarkan aset nyata bersih atau net tangibel asset jika ingin masuk indeks tersebut. Bursa menyesuaikan perhitungan itu sesuai dengan karakteristik bisnis untuk perusahaan teknologi yang notabenenya masih membukukan kerugian saat melantai.
"Perusahaan-perusahaan teknologi biasanya mengejar growth opportunity, sehingga kemungkinan pendapatannya naik atau kapitalisasi pasarnya besar. Namun secara bottomline (laba), masih tidak hijau," kata Yetna.
Oleh karena itu, Yetna mengubah perhitungan kriteria itu menjadi tiga pilihan, yakni menyandingkan pendapatan sebelum pajak dengan aset tidak terlihat atau intangibel asset, laba dengan kapitalisasi pasar, atau pendapatan dengan kapitalisasi pasar. Pertimbangan Yetna dalam memasukkan komponen intangibel aset lantaran nilai intangibel aset dalam perusahaan teknologi lebih besar dari pada tangibel asset.
"Ini akan membuka kesempatan perusahaan (teknologi) tanpa mengurangi dari sisi kualitasnya," kata Yetna.
Selain itu, BEI juga akan menerapkan peraturan Multiple Voting Shares (MVS) atau saham dengan hak suara Multipel. MVS merupakan klasifikasi saham, dimana satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham. Calon emiten yang melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas dapat menerapkannya.
Dalam aturan tersebut, dijelaskan sejumlah syarat yang harus dipenuhi, di antaranya perusahaan harus menciptakan inovasi dan memiliki aset minimal Rp 2 triliun.
Calon emiten yang ingin menerapkan MVS juga harus perusahaan yang menggunakan teknologi untuk menciptakan inovasi produk. Dengan demikian, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, serta bermanfaat secara sosial.
Selanjutnya, calon emiten harus mencantumkan suara multipel dalam anggaran dasar secara jelas dan terperinci. Salah satunya, jangka waktu pengakhiran MVS paling lama 10 tahun sejak efektifnya pernyataan pendaftaran.
Adapun regulator melarang setiap pemegang MVS untuk mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya selama 2 tahun setelah pernyataan pendaftaran menjadi efektif.
Pemegang MVS, baik sendiri maupun secara bersama-sama, hanya dapat memiliki 47,3% dari seluruh saham. MVS lebih dari 47,3%, kelebihannya dianggap sebagai saham biasa.
Walau demikian, Yetna menyatakan belum menerima berkas permohonan pencatatan saham dari unicorn. "Sampai saat saya bicara sekarang ini belum ada lagi unicorn yang masuk pipeline,” kata Yetna.