Ada Perang dan Resesi, Bagaimana Strategi Investasi Tahun Ini?
Pasar keuangan global masih dilanda ketidakpastian. Hal ini bersumber dari masih berlanjutnya ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang memicu krisis pangan dan energi. Selain itu, ancaman resesi ekonomi global makin menguat setelah inflasi yang tinggi terjadi di banyak negara.
Ekonomi Amerika Serikat, pada kuartal kedua tahun ini misalnya, sudah terkontraksi sebesar 0,9%. Hal ini menunjukkan, perekonomian Negeri Paman Sam, secara teknis sudah memasuki resesi karena anjlok dalam dua kuartal beruntun setelah terkontraksi sebesar 1,6% di kuartal pertama tahun ini.
Dengan kekhawatiran itu, bagaimana peluang investasi di semester kedua tahun ini?
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menungkapkan, Indonesia punya kesempatan mengambil momentum untuk kembali bangkit dari terpaan pandemi di saat sejumlah negara harus mengalami nasib yang kurang baik hingga krisis. Dari sisi fundamental ekonomi, Indonesia masih cukup kuat.
Kendati, saat ini masih terdapat dua perhatian utama pelaku pasar. Pertama, kenaikan suku bunga Fed Rate yang diproyeksikan masih akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Kedua, kekhawatiran kinerja emiten di kuartal kedua tahun ini yang berada di bawah ekspektasi para analis.
“Peluang investasi di tengah krisis global saat ini ditopang oleh katalis masih tingginya harga komoditas, mobilitas masyarakat global pulih yang mengakibatkan pemulihan aktivitas ekonomi dan kuatnya fundamental makro ekonomi,” kata Telisa.
Sementara itu, Head Of Research NH Korindo Sekuritas Liza C. Suryanata menilai, ada sejumlah sektor yang berpeluang untuk tumbuh di tahun ini. Sektor itu adalah pertambangan dan energi.
Dia memproyeksikan, ke depannya tren harga komoditas akan terus menanjak di mana harga minyak masih tidak akan jauh berbeda dari harga saat ini, hal itu disebabkan oleh negara OPEC belum bisa menentukan kepastian dan adanya perang antara Rusia-Ukraina.
“Maka dari itu emiten-emiten di sektor tersebut masih sangat menarik,” tuturnya.
Sedangkan, praktisi pasar modal Hans Kwee menilai, IHSG masih akan berpeluang untuk tumbuh di kuartal ketiga tahun ini, namun akan sulit menembus level psikologis 7.000. “IHSG akan mulai bangkit di level 6.800 ke 7.000 di kuartal keempat tahun ini,” terang Hans.
Adapun, sejumlah sentimen yang menjadi perhatian investor adalah kebijakan moneter The Fed untuk menurunkan inflasi dengan terus menaikkan suku bunga, paling tidak sampai dengan 2024 mendatang.
Kendati menghadapi sejumlah ketidakpastian glbal, optimistime di pasar modal terus bergulir. Selama masa pandemi misalnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi yang tertinggi dari sisi perolehan dana hasil penawaran umum di Kawasan Asia Tenggara.
BEI sendiri menargetkan untuk tahun 2022 ada 55 perusahaan yang bakal IPO. Sampai dengan 27 Juli 2022, terdapat 29 perusahaan yang mencatatkan saham di pasar modal Tanah Air. Hingga saat ini, terdapat 36 perusahaan dalam pipeline atau yang mengantri untuk melakukan pencatatan saham di BEI. Di samping itu, terdapat 55 perusahaan yang telah mencatatkan 73 emisi Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS) dan masih ada 19 perusahaan yang berada dalam pipeline pencatatan EBUS.