Kaleidoskop 2022: Kinerja Saham Teknologi Masih Terseok-seok
Kinerja saham di sektor teknologi Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mengalami tekanan. Saham di sektor ini sejak awal tahun terkoreksi paling dalam dibanding sektor lainnya seperti di sektor properti dan infrastruktur.
Merujuk data statistik yang dipublikasikan otoritas bursa, saham teknologi jatuh 43,88% sejak awal tahun (year to date). Padahal, pada masa pagebluk Covid-19 tahun lalu, saham teknologi sempat melesat hingga ratusan persen.
Tak bisa dimungkiri, kejatuhan saham perusahaan teknologi global seperti Meta Platforms, induk dari Facebook, Microsoft, hingga Amazon turut menjadi badai bagi sektor ini. Kejatuhan itu disebabkan karena kinerja keuangan saham emiten teknologi yang mengecewakan.
Sektor | Industri Dasar | Primer | Keuangan | Properti | Teknologi | Infrastruktur |
Year to Date | - 0,36% | - 5,88% | - 6,77% | - 10,66% | - 43,88% | - 11,63% |
Perbandingan kinerja sektoral IHSG. Data diolah penulis. Sumber: BEI
Ditambah lagi, kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), bayang-bayang resesi ekonomi dan serangkaian aksi pemutusan hubungan kerja perusahaan rintisan menjadi katalis negatif saham teknologi.
"Secara pergerakan, harga saham teknologi mengalami tekanan cukub besar, salah satunya karena makro ekonomi secara global seperti naiknya suku bunga acuan The Fed," kata Deputy Head of Research Sucor Sekuritas, Paulus Jimmy Tan, kepada Katadata, Selasa (20/12).
Sebelumnya, Dewan Gubernur bank sentral Amerika Serikat yang kembali menaikkan suku bunga acuannya atau Fed Fund Rate sebesar 50 basis points (bps) ke kisaran 4,25%-4,5% pada Desember 2022.
Kebijakan The Fed tersebut memicu penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia. Ini tercermin dari Indeks Dolar AS yang sempat menyentuh level tertingginya hingga menyentuh angka indeks 114 pada Oktober 2022.
Menjelang akhir tahun, kejatuhan saham teknologi masih membayangi tiga saham yang bergerak di bidang e-commerce. Sebut saja, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), dan PT Global Digital Niaga Tbk (BELI). Trio emiten tersebut sempat berada di titik harga tertinggi. Bagaimana kinerja ketiga sahamnya sepanjang tahun ini?
PT Bukalapak.com Tbk (BUKA)
Pada 6 Agustus 2021, Bukalapak.com menjadi unicorn pertama di Indonesia yang mencatatkan sahamnya di BEI. Bahkan, perusahaan tersebut mendapatkan dana Rp 21,9 triliun. Tidak hanya moncer, harga sahamnya juga melejit Rp 1.060 per lembar dari harga penawaran Rp 850 per lembar.
Melalui prospektusnya, dana yang diperoleh dari penawaran tersebut, sekitar 66% digunakan untuk modal kerja. Sisa dananya digunakan untuk modal kerja pada entitas anak, yakni masing-masing sebanyak 15% untuk dialokasikan kepada Buka Mitra Indonesia dan Buka Usaha Indonesia.
Sebelumnya, BUKA membukukan laba bersih Rp 3,62 triliun hingga kuartal III 2022, setelah pada periode yang sama tahun lalu mengalami rugi bersih mencapai Rp 1,12 triliun. Berdasarkan laporan keuangan, laba nilai investasi yang belum dan sudah terealisasi per September 2022 tercatat Rp 5,13 triliun, dari sebelumnya nol. Namun kenaikan disebabkan oleh laba nilai investasi marked-to-market dari PT Allo Bank Tbk, bukan dari lini bisnis utama perseroan.
Bila dilihat sejak awal tahun ini, harga saham Bukalapak melemah 38,60% ke level Rp 264 per saham pada penutupan perdagangan Kamis (22/12). Nilai kapitalisasi pasarnya tergerus menjadi hanya sebesar Rp 27,21 triliun.
PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO)
Bukalapak seakan membuka jalan bagi startup e-commerce untuk ikut melantai di Bursa Efek Indonesia. Pada April 2022, GOTO masuk BEI dengan harga Rp 338 per saham. Menurut catatan Katadata, pada pencatatan saham perdana tersebut harga saham GOTO bahkan sempat meroket 18,34% atau 62 poin ke level Rp 400.
Sebanyak Rp 2 triliun dana IPO disalurkan ke Tokopedia, lalu modal kerja perusahaan Rp 1,735 triliun, dan sisanya penyertaan pada PT Dompet Anak Bangsa senilai Rp 762,63 miliar.
Seiring berjalannya waktu, GOTO harus dihadapkan dengan situasi yang tidak menguntungkan. Setelah masa lock up berakhir, harga saham perusahaan decacorn itu menyusut signifikan, bahkan mengalami ARB hingga sebelas hari berturut-turut. Hingga penutupan Kamis (20/12) saham GOTO ditutup di level Rp 89 per saham. Dalam kurun enam bulan terakhir, saham GOTO anjlok 76,58%. Nilai kapitalisasi pasarnya menguap menjadi tinggal Rp 105 triliun dari saat awal IPO di level Rp 400 triliun.
Dari sisi kinerja keuangannya, hingga kuartal III 2022, GOTO juga masih membukukan kerugian senilai Rp 20,32 triliun dengan pendapatan Rp 7,96 triliun. Jika dibandingkan, pendapatan GOTO sangat kecil dibandingkan dengan beban gaji dan imbalan karyawan hingga tembus Rp 11,28 triliun. Sebab itu, GOTO melakukan aksi PHK massal dengan total 1.300 karyawannya dengan tujuan efisiensi.
PT Global Digital Niaga Tbk (BELI)
Tidak kapok akan tergerusnya harga saham teknologi, Blibli ikut menyusul kedua emiten teknologi yang berbasis e-commerce tersebut pada Oktober lalu. Blibli memasang harga penawaran umum saham perdana di level Rp 450, meraup dana Rp 7,9 triliun.
Namun, dana IPO digunakan untuk membayar utang perbankan ke PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank BTPN Tbk. Sisanya digunakan oleh perusahaan dan entitas anak, PT Global Tiket Network (GTNe) atau Tiket.com, sebagai modal kerja.
Dana IPO yang digunakan untuk membayar utang ini dinilai analis pasar modal Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora, sebagai strategi yang tidak baik. Menurutnya, dana IPO seharusnya dipakai untuk ekspansi bisnis, yang justru bukan menjadi prioritas Blibli dalam IPO.
"Tapi pembayaran utang ini bisa membuat beban bunga utang berkurang, sehingga laba bersih bisa meningkat,” ujar Andhika pada Katadata. Dia juga menilai pasar akan cenderung membandingkan saham BELI dengan dua perusahaan teknologi yang sudah lebih dulu melantai, yakni GOTO dan BUKA.
Menurut Andhika, tidak menutup kemungkinan tren buruk ini juga dialami oleh Blibli. “Pelaku pasar akan berhati-hati di pasar teknologi. Baiknya investor melakukan strategi jangka pendek terlebih dahulu di BELI, karena sedang ada ketidakpastian ekonomi global,” katanya.
Hingga penutupan hari ini, saham BELI terpantau stagnan di level Rp 468 per lembar saham. Sahamnya sempat alami ARB pada level Rp 466 per saham dan harga tertinggi mencapai Rp 470 per saham. Dalam sebulan terakhir, saham BELI juga anjlok 4,47% dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 55,68 triliun.
Selanjutnya: Bagaiamana proyeksi saham teknologi, masihkah menarik?