Mulai Juni Batasan ARB Tak Lagi 7%, Investor Makin Minati Aset Saham?
Bursa Efek Indonesia (BEI) akan mulai memberlakukan kebijakan batasan auto reject saham simetris secara bertahap mulai 5 Juni 2023 nanti. Dengan demikian, batasan auto reject bawah (ARB) akan naik menjadi 15% di seluruh fraksi harga tidak lagi 7% dari saat ini.
Sedangkan, auto reject atas (ARA) tetap 35% di semua harga. Adapun, aturan batasan ARB dan ARA baru akan simetris sepenuhnya atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 mulai September 2023 mendatang.
Lantas, dengan mulai kembalinya mekanisme batasan ARB, bagaimana minat investor, terutama yang berbasis di luar negeri terhadap aset bersifat ekuitas?
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengemukakan, pengembalian kebijakan perdagangan tersebut merupakan mekanisme pasar yang memang sebelumnya berlaku di bursa. Namun, yang harus ditekankan, investor harus mengetahui risiko tersebut dan sebelumnya masyarakat telah memperoleh informasi terkait penyesuaian tersebut untuk beradaptasi.
"Kita enjoy di mana ada periode ada insentif dari regulator mengenai perdagangan transaksi saham. Yang perlu ditekankan adalah edukasi harus sampai ke investor, bahwa trading saham memang seperti itu normalnya," ujarnya, dalam diskusi Media Editors Circle bertajuk eran Perbankan dalam Mendukung Perekonomian melalui Pasar Modal, Rabu (24/5) di Jakarta.
Pada kesempatan sama, Head of Deposit & Wealth Management UOB Indonesia, Vera Margaret, menilai meskipun nantinya akan kembali menerapkan perdagangan sebelum pandemi, dari sisi kondisi pasar saham Indonesia diyakini tetap menarik yang didukung oleh fundamental ekonomi domestik yang cukup kuat.
Meskipun, sejak awal tahun sampai dengan 25 Mei 2023, dari sisi imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih terkontraksi sebesar 2,14%, namun aliran modal asing tetap masuk ke bursa Tanah Air senilai Rp 14 triliun, sedangkan sebesar Rp 70 triliun masuk melalui instrumen obligasi.
"Jadi, investor asingnya berinvestasi di Indonesia, itu menunjukkan pasar Indonesia masih potensi untuk investasi," ujar Vera. Dengan penurunan IHSG, justru ini bisa menjadi strategi down averaging atau membeli harga saham saat mengalami koreksi.
Sementara itu, Global Markets Director UOB Indonesia, Sonny Samuel, mencermati risiko resesi di Amerika Serikat diyakini tidak akan terjadi. Pemerintah dan Kongres diproyeksikan akan mencapai kesepakatan untuk menaikkan batas plafon utang.
"Pengamatan saya tidak akan terjadi resesi. Ada penyelesaian baik dari penyelesaian plafon utang, harusnya ada manfaatnya bagi emerging markets," ujar dia. Di sisi lain, dengan tingkat suku bunga The Fed yang sudah tinggi, hal ini diyakini akan menarik bagi investasi berbasis ekuitas maupun obligasi di Tanah Air.