RI Sudah Punya Bursa Karbon, Pelaku Usaha Diminta Serius Dekarbonisasi
Bursa karbon Indonesia secara resmi meluncur pada Selasa (26/9) dengan emisi karbon yang diperdagangkan perdana 459.914 ton CO2 ekuivalen. Untuk itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa meminta pelaku usaha untuk lebih serius dalam melakukan dekarbonisasi.
Purbaya memproyeksikan, perdagangan bursa karbon di Indonesia akan berjalan dengan baik dan bisa menurunkan emisi karbon. Hal itu mengingat Indonesia yang memiliki sumber energi bersih, sehingga bisa menjual bursa karbon tersebut ke negara-negara seperti Eropa atau pengusaha yang membutuhkan.
“Cuma nanti tidak segampang itu juga. Sertifikat karbon ini juga kan harus diperiksa dengan lembaga yang berwibawa,” ujarnya saat ditemui awak media di Jakarta, Rabu (29/9).
Dia mengatakan meski Indonesia memiliki banyak tanah dan program hijau yang tidak main-main namun menurutnya, pasar karbon tersebut juga harus diawasi dengan kebijakan, serta implementasi yang serius. Pasalnya, jika tidak begitu nantinya kredibilitas bursa karbon Indonesia akan mudah hilang.
“Jadi ini memerlukan suatu kebijakan dan implementasi yang betul-betul serius dalam pengawasannya. Sebelum mereka awasi kita, jadi kita harus jaga betul-betul dulu,” kata dia
Sebab menurut dia, tanpa adanya pengawasan nantinya pasar karbon Indonesia bisa disalah gunakan dengan mudah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, “Nanti karbon yang dijual karbon bohongan, cuma diatas kertas saja. Takutnya seperti itu. Jadi ini bagus, tapi kita harus serius,” ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti mengatakan, Indonesia memiliki potensi ekonomi karbon yang besar. Menurut dia, Indonesia unggul dalam solusi berbasis alam atau natural based solutions (NBS).
Nani menjabarkan, potensi ekonomi karbon paling besar berasal dari ekosistem mangrove yang mencapai Rp 2,333 triliun, hutan Rp 2.333 triliun, gambut Rp 1,134 triliun, dan tumbuhan lamun atau seagrass mencapai Rp 100 triliun.
“Kalau kita lihat, untuk tropical forest sudah berjalan, tapi lebih yang nonmarket, jadi result based payment,” kata Nani di acara Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2023 di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Selasa (26/9).
Result-Based Payment atau pembayaran berbasis kinerja adalah insentif atau pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah diverifikasi dan/atau tersertifikasi dan manfaat selain karbon yang telah divalidasi.
Adapun Nani mengatakan, pemanfaatan potensi ekonomi karbon seharusnya tak hanya terbatas pada perdagangan karbon di dalam negeri, tetapi juga secara internasional. Namun, menurut dia, ada kondisi yang perlu dipenuhi untuk dapat memasuki perdagangan internasional, yakni unit karbon harus berkualitas dan sesuai standar internasional.
“Seperti menggunakan teknologi blockchain untuk proses pengawasan, dari sisi teknologi juga harus digunakan,” ujarnya.