Pelajaran dari Singapura: Mengawasi Laporan ESG Emiten Lebih Ketat
SINGAPURA. Bursa Efek Singapura (Singapore Exchange/SGX) memiliki pengawasan yang ketat untuk memastikan seluruh emitennya menerbitkan laporan keberlanjutan yang bertanggung jawab. SGX juga menilai apakah laporan tersebut benar-benar menunjukkan aksi iklim dan keberlanjutan setiap emiten.
SGX bekerja sama dengan Centre for Governance and Sustainability (CGS) di National University of Singapore (NUS) untuk meninjau laporan keberlanjutan yang diterbitkan. Total ada 535 emiten SGX yang telah menerbitkan laporan keberlanjutan tahun fiskal 2022 per 31 Juli 2023.
Heng Swee Keat, Deputi Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kebijakan Ekonomi Singapura, mengatakan SGX telah secara bertahap memberlakukan aturan yang mewajibkan publikasi laporan keberlanjutan. Aturan ini terus diperkuat dengan standar lebih ketat sejak 2017.
“Saya senang mendengar bahwa 99,6% perusahaan terbuka yang memenuhi syarat, hampir semuanya, merilis laporan keberlanjutan tepat waktu,” kata Heng dalam peluncuran “Tinjauan Laporan Keberlanjutan 2023”, di Singapura, Kamis (23/11).
Tinjauan Laporan Berkelanjutan SGX dilakukan tiap dua tahun sekali sejak 2019. Untuk tinjauan kali ini, SGX memasukkan keterbukaan terkait iklim sebagai salah satu dari tujuh kriteria penilaian. Keterbukaan ini juga mendapat bobot terbesar, yaitu 25%. Sementara itu, enam faktor lainnya mendapat bobot 15%.
Jika menggunakan kriteria yang sama dengan penelitian 2019 dan 2021, rata-rata nilai laporan keberlanjutan tercatat sebesar 75 poin pada 2023. Nilai ini naik dari 65 poin pada 2019 dan 72 poin pada 2021. Penelitian menggolongkan nilai di atas 70 poin sudah bagus.
Keterbukaan Terkait Iklim Belum Memadai
Meski begitu, diperkenalkannya kriteria keterbukaan terkait iklim membuat skor tersebut turun. Rata-rata nilai turun dari 75 poin menjadi 66 poin. Penurunan terbesar terjadi di emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil (di bawah SGD 300 juta).
Direktur CGS NUS sekaligus pemimpin penulisan tinjauan, Prof. Lawrence Loh, mengatakan penurunan ini menjadi evaluasi untuk emiten-emiten SGX. Menurutnya, perlu ada fokus lebih untuk keterbukaan terkait iklim yang lebih terstruktur. “Kurangnya keterbukaan soal iklim membuat nilai rata-rata yang seharusnya A menjadi B,” kata Lawrence dalam peluncuran “Tinjauan Laporan Keberlanjutan 2023”.
Mengutip situs resminya, SGX memang baru memberlakukan kewajiban keterbukaan terkait iklim pada 2022. Ini karena efek perubahan iklim yang semakin terlihat hingga usaha kolektif secara global untuk mengatasi hal tersebut menjadi sangat penting.
SGX merekomendasikan keterbukaan terkait iklim tersebut berdasarkan kerangka Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Untuk tahun fiskal 2022, 393 dari 535 emiten SGX telah memasukkan keterbukaan sesuai kerangka TCFD.
“Adanya keterbukaan terkait iklim dengan kerangka TCFD seharusnya mengurangi insiden greenwashing. Ini karena ada kerangka spesifik yang membuat pemangku kepentingan lebih mudah menganalisis dan membandingkan datanya,” tulis peneliti dalam tinjauan tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah mewajibkan penerbitan laporan keberlanjutan sejak 2017, tahun yang sama dengan Singapura. Kewajiban ini tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 51/POJK.03/2017. Aturan tersebut juga melampirkan hal-hal yang harus ada dalam laporan keberlanjutan.
Pada 2021, OJK menerbitkan surat edaran (SE) untuk melengkapi POJK di atas. SE OJK nomor 16/SEOJK.04/2021 ini mengatur bentuk dan isi laporan keberlanjutan yang diterbitkan setiap emiten di Indonesia.
Perbedaan antara BEI dan SGX adalah penetapan standar dan kerangka internasional dalam pembuatan laporan keberlanjutan. SGX secara eksplisit menyebut standar Global Reporting Initiative (GRI) sebagai acuan emiten dalam membuat laporan keberlanjutan.
Sejak 2022, SGX juga merekomendasikan kerangka TCFD untuk keterbukaan terkait iklim seperti yang sudah disebut sebelumnya.
Sementara itu, OJK tidak menyebutkan eksplisit standar GRI dalam SE yang mengatur isi dan bentuk laporan keberlanjutan. BEI memang menjadi salah satu penanda tangan inisiatif TCFD pada 2021, tetapi ini belum diimplementasikan di Indonesia.
Prof. Lawrence mengatakan keadaan di Indonesia memang belum sempurna. Kondisi ini juga dialami Singapura pada awal implementasi kewajiban laporan keberlanjutan. Bursa Malaysia bahkan lebih awal menetapkan kewajiban tersebut dibandingkan dengan Singapura.
Peraih gelar PhD dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini mengatakan hal yang paling penting yang harus dilakukan otoritas bursa adalah memperbaiki dan memperkuat aturan yang ada. Tidak hanya itu, perlu ada implementasi dan penegakan aturan.
“Sebenarnya apa yang dibuat aturan, itulah yang akan didapat. Banyak negara membuat aturan tapi tidak ada penegakannya, hingga aturan hanya menjadi dokumen,” katanya.