Pelajaran dari Singapura: Mengawasi Laporan ESG Emiten Lebih Ketat

Reza Pahlevi
24 November 2023, 10:37
Direktur Centre for Governance and Sustainability National University of Singapore, Prof. Lawrence Loh memaparkan penelitiannya terkait laporan keberlanjutan emiten Bursa Efek Singapura.
Dok. NUS
Direktur Centre for Governance and Sustainability National University of Singapore, Prof. Lawrence Loh memaparkan penelitiannya terkait laporan keberlanjutan emiten Bursa Efek Singapura.

SINGAPURA. Bursa Efek Singapura (Singapore Exchange/SGX) memiliki pengawasan yang ketat untuk memastikan seluruh emitennya menerbitkan laporan keberlanjutan yang bertanggung jawab. SGX juga menilai apakah laporan tersebut benar-benar menunjukkan aksi iklim dan keberlanjutan setiap emiten.

SGX bekerja sama dengan Centre for Governance and Sustainability (CGS) di National University of Singapore (NUS) untuk meninjau laporan keberlanjutan yang diterbitkan. Total ada 535 emiten SGX yang telah menerbitkan laporan keberlanjutan tahun fiskal 2022 per 31 Juli 2023.

Heng Swee Keat, Deputi Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kebijakan Ekonomi Singapura, mengatakan SGX telah secara bertahap memberlakukan aturan yang mewajibkan publikasi laporan keberlanjutan. Aturan ini terus diperkuat dengan standar lebih ketat sejak 2017.

“Saya senang mendengar bahwa 99,6% perusahaan terbuka yang memenuhi syarat, hampir semuanya, merilis laporan keberlanjutan tepat waktu,” kata Heng dalam peluncuran “Tinjauan Laporan Keberlanjutan 2023”, di Singapura, Kamis (23/11).

Tinjauan Laporan Berkelanjutan SGX dilakukan tiap dua tahun sekali sejak 2019. Untuk tinjauan kali ini, SGX memasukkan keterbukaan terkait iklim sebagai salah satu dari tujuh kriteria penilaian. Keterbukaan ini juga mendapat bobot terbesar, yaitu 25%. Sementara itu, enam faktor lainnya mendapat bobot 15%.

Jika menggunakan kriteria yang sama dengan penelitian 2019 dan 2021, rata-rata nilai laporan keberlanjutan tercatat sebesar 75 poin pada 2023. Nilai ini naik dari 65 poin pada 2019 dan 72 poin pada 2021. Penelitian menggolongkan nilai di atas 70 poin sudah bagus.

Keterbukaan Terkait Iklim Belum Memadai

Meski begitu, diperkenalkannya kriteria keterbukaan terkait iklim membuat skor tersebut turun. Rata-rata nilai turun dari 75 poin menjadi 66 poin. Penurunan terbesar terjadi di emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil (di bawah SGD 300 juta).

Direktur CGS NUS sekaligus pemimpin penulisan tinjauan, Prof. Lawrence Loh, mengatakan penurunan ini menjadi evaluasi untuk emiten-emiten SGX. Menurutnya, perlu ada fokus lebih untuk keterbukaan terkait iklim yang lebih terstruktur. “Kurangnya keterbukaan soal iklim membuat nilai rata-rata yang seharusnya A menjadi B,” kata Lawrence dalam peluncuran “Tinjauan Laporan Keberlanjutan 2023”.

Mengutip situs resminya, SGX memang baru memberlakukan kewajiban keterbukaan terkait iklim pada 2022. Ini karena efek perubahan iklim yang semakin terlihat hingga usaha kolektif secara global untuk mengatasi hal tersebut menjadi sangat penting.

SGX merekomendasikan keterbukaan terkait iklim tersebut berdasarkan kerangka Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Untuk tahun fiskal 2022, 393 dari 535 emiten SGX telah memasukkan keterbukaan sesuai kerangka TCFD.

“Adanya keterbukaan terkait iklim dengan kerangka TCFD seharusnya mengurangi insiden greenwashing. Ini karena ada kerangka spesifik yang membuat pemangku kepentingan lebih mudah menganalisis dan membandingkan datanya,” tulis peneliti dalam tinjauan tersebut.

Halaman:
Reporter: Reza Pahlevi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...