Ini Dia Faktor-faktor di Balik Penurunan Harga Bitcoin
Harga Bitcoin (BTC) langsung merosot ketika kuartal dua 2024 dimulai, menyeret seluruh pasar kripto masuk ke dalam zona merah. Likuidasi besar-besaran terjadi di pasar kripto dan lantas membuat banyak investor khawatir. Padahal Bitcoin halving akan dimulai pada 14 April 2024 mendatang.
Bitcoin halving adalah peristiwa yang terjadi empat tahun sekali ketika block reward atau imbal hasil yang diperoleh para penambang Bitcoin dipotong setengah. Adapun tujuannya antara lain untuk membatasi pasokan dan menekan inflasi.
Halving berikutnya akan terjadi pada bulan ini, sebuah proses yang dirancang untuk memperlambat pelepasan BTC yang pasokannya dibatasi hingga 21 juta. Di mana 19 juta di antaranya telah ditambang.
Namun apa yang menyebabkan penurunan mendadak ini dan apa dampaknya bagi masa depan kripto?
Bitcoin mengalami penurunan dramatis, anjlok dari US$ 70.000 hingga US$ 65.000 atau kisaran Rp 1 miliar, sementara Ethereum sempat anjlok ke US$ 3.319 atau sekitar Rp 52 juta. Kapitalisasi pasar BTC saat ini berada di sekitar US$ 1,3 triliun dengan volume perdagangan 24 jam sebesar US$ 40 miliar.
Penurunan harga yang cepat memicu serangkaian likuidasi besar-besaran. Menilik data Coinmarketcap, Jumat (5/4) pukul 12.11 WIB harga BTC terpantau naik 3,33% dalam 24 jam terakhir, namun minus 3,98% dalam sepekan terakhir.
Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menjelaskan salah satu faktor utama penurunan harga Bitcoin adalah ETF Bitcoin yang mencatat total arus keluar tinggi dalam beberapa hari terakhir sejak awal April 2024. GBTC Grayscale berkontribusi terhadap penurunan Bitcoin karena Grayscale terus mengalami arus keluar dana yang signifikan.
Pada tanggal 1 April, GBTC mengalami arus keluar sebesar US$ 302,6 juta, terutama berkontribusi terhadap arus keluar bersih gabungan sebesar US$ 85,7 juta yang dicatat oleh ETF Bitcoin ini. Hal ini telah membawa lebih banyak tekanan jual pada Bitcoin, yang saat ini membebani tekanan beli di ekosistem.
Sementara, data menunjukkan produk investasi ini mencapai total arus masuk US$ 862 juta pada minggu lalu.
"Aktivitas di pasar derivatif juga berperan dalam sentimen pasar yang bearish, dengan penurunan yang terlihat memegang kendali. Data dari Coinglass menunjukkan bahwa US$ 409 juta telah dilikuidasi dari pasar dalam 24 jam terakhir, dengan US$ 328 juta dalam posisi buy dihapus selama periode ini," jelas Fyqieh.
Fyqieh menambahkan, penurunan yang terjadi ini juga mencerminkan berkurangnya antusiasme di pasar kripto, dipengaruhi oleh meningkatnya tantangan untuk mencapai kebijakan moneter yang lebih longgar di Amerika Serikat.
Perhatian tertuju pada pertemuan The Fed yang dijadwalkan pada tanggal 1 Mei, dengan antisipasi luas bahwa otoritas bank sentral AS mungkin akan menurunkan suku bunga.
"Saat ini, perkiraan pasar menunjukkan penurunan suku bunga terjadi pada bulan Mei sangat kecil. Oleh karenanya pasar kripto jatuh karena ekspektasi penurunan suku bunga The Fed menurun. Pelaku pasar mulai mencari posisi untuk masuk kembali ke pasar melihat kondisi makroekonomi yang belum stabil," jelasnya.
Tekanan terhadap Bitcoin tampaknya belum cukup, para investor sedang menunggu dengan antisipasi untuk melihat bagaimana halving BTC yang keempat ini akan mempengaruhi harga dan stabilitas pasar. Beberapa percaya bahwa pengurangan jumlah reward blok baru akan mendorong kenaikan nilai Bitcoin, mengingat sejarah halving sebelumnya yang telah menyebabkan lonjakan harga yang signifikan.
Namun, ada juga kekhawatiran bahwa dampak halving kali ini mungkin tidak sebesar sebelumnya karena efeknya telah diantisipasi dan terduga lebih baik oleh pasar.
Meskipun demikian, halving BTC tetap menjadi momen penting yang menggugah minat dan perhatian terhadap kripto terbesar di dunia ini.
Lebih lanjut Fyqieh menjelaskan Bitcoin telah menyaksikan beberapa koreksi harga, yang mendorong harga koin di bawah US$ 65.000. Namun, investor tidak boleh kehilangan harapan, karena BTC tampaknya mengikuti tren harga historis menjelang halving. Jadi, jika sejarah terulang kembali, BTC mungkin akan mengalami penurunan harga lebih lanjut sebelum mendapatkan momentum dan mencapai US$ 100.000.
"Tren penurunan ini bukan hal yang tidak terduga, karena BTC yang mengikuti tren historis menjelang halving mendatang. Bitcoin perlahan-lahan beralih dari fase “Pre-Halving Rally” ke fase “Pre-Halving Retrace” yang cenderung terjadi 28 hingga 14 hari sebelum peristiwa halving. Fase ini mengakibatkan penurunan harga masing-masing sebesar 38% dan 20% pada tahun 2016 dan 2020," kata Fyqieh.
Dalam analisanya BTC memiliki dukungan kuat di dekat angka US$ 64.000. harga Bitcoin mungkin akan rebound setelah menyentuh level tersebut. Namun, jika gagal menguji support tersebut dan berada di bawahnya, maka kemungkinan BTC mencapai US$ 60.000 adalah tinggi.
Meskipun harga BTC mungkin akan mengalami koreksi harga lagi, hal-hal dalam jangka panjang tampak bullish. Khususnya, setelah fase Pre-Halving Retrace, BTC akan memasuki fase akumulasi ulang. Fase akumulasi mungkin akan berlangsung selama hampir lima bulan. Menariknya, dalam siklus ini, ini akan menjadi pertama kalinya rentang akumulasi ulang ini dapat berkembang di sekitar area New All-Time High.
Babak Baru
Pengaturan dan pengawasan aset kripto, yang sebelumnya berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akan secara resmi berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Januari 2025.
Perubahan ini merupakan respons atas pertumbuhan cepat aset kripto, di mana nilai transaksinya telah mencapai Rp 33,69 triliun pada Februari 2024. Sementara itu, terdapat 35 CPFAK dengan lembaga penunjang yang terdiri dari Bursa Berjangka, Kliring Berjangka, dan Repository.
Adapun jumlah jenis aset kripto yang diperdagangkan juga mengalami peningkatan menjadi 545 jenis, termasuk diantaranya 39 jenis aset kripto lokal. Seiring dengan pertumbuhan ini, tentunya akan muncul potensi risiko yang perlu diatasi oleh regulator dalam rangka menjamin integritas pasar dan pelindungan konsumen.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO), Yudhono Rawis menyampaikan bahwa pentingnya kolaborasi antara pelaku industri dan regulator untuk membangun regulasi yang lebih kuat untuk menjaga integritas pasar dan melindungi konsumen.
"Diperlukan sinergi yang kuat antara regulator dan industri untuk menciptakan ekosistem aset keuangan digital yang sehat dan inovatif mengingatkan potensi risiko yang menyertai aset kripto. Pasca terbitnya UU P2SK, aset kripto menjadi kelas aset baru yang menjadi salah satu bagian dari aset keuangan digital," kata Yudho.