Sritex (SRIL) Raksasa Tekstil Solo yang Sempat Dibanggakan Jokowi Kini Bangkrut
Salah satu perusahaan tekstil yang terbesar di Asia Tenggara yang sempat dibanggakan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex resmi dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Semarang (PN Semarang), Jawa Tengah. Hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg tertanggal Rabu, 28 Agustus 2024.
Kemudian berdasarkan putusan homologasi yang dirilis pada 25 Januari 2022, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dianggap telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, selaku pemohon.
“Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis petitum, dikutip melalui lama sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Semarang, Kamis (24/10).
Putusan tersebut juga secara langsung membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg yang dikeluarkan pada 25 Januari 2022, terkait pengesahan rencana perdamaian (Homologasi).
Selain dinyatakan bangkrut, Sritex juga terancam didepak atau delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal itu lantaran sahamnya telah disuspensi lebih dari 30 bulan. Perusahaan juga terlilit Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan laporan keuangan terakhir menunjukkan ekuitas negatif.
Tak hanya itu, Sritex juga masuk ke efek bersifat ekuitas dalam pemantauan khusus memiliki ekuitas negatif pada laporan keuangan terakhir. SRIL juga memiliki likuiditas rendah dengan kriteria nilai transaksi rata-rata harian saham kurang dari Rp 5 juta dan volume transaksi rata-rata harian saham kurang dari 10 ribu saham selama enam bulan terakhir di pasar reguler
Bangganya Jokowi pada Sritex
Delapan tahun silam, Sritex menuai pujian dari Presiden Joko Widodo. Ia bangga, Sritex sebagai merek Indonesia mampu merajai pasar dunia. Namun, kondisi pabrik tekstil ini kini nyaris bangkrut. Sritex didirikan oleh Luminto pada 196 sebagai perusahaan perdagangan di Pasar Klewer Solo dengan nama UD Sri Redjeki.
Pada 1968, UD Sri Redjeki mendirikan sebuah pabrik yang memproduksi kain mentah dan pahan putihan di Joyosuran, Solo. Badan hukum UD Sri Redjeki kemudian diubah menjadi PT Sri Rejeki Isman pada 1978. Pada 1982, perusahaan ini mendirikan pabrik penenunan pertamanya. Perusahaan terus berkembang hingga dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan militer NATO dan Jerman pada 1984.
Sritex semakin memperluas usaha pabriknya pada 1992 sehingga dapat menampung empat lini produksi sekaligus, yakni pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen. Usaha perusahaan ini terus berkembang hingga melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2013.
Masa Jaya Sritex: Ekspor Seragam Militer untuk 30 Negara
Perusahaan ini pun terus berekspansi hingga menuai pujian dari Jokowi yang hadir saat peresmiam perluasan pabrik mereka pada 2017 di Sukoharjo, Jawa Tengah.
"Kita lihat Sritex, satu bukti brand Indonesia yang merajai pasar dunia," kata Jokowi.
Sritex saat itu baru saja berinvestasi Rp 2,6 triliun untuk pabrik. Mereka kala itu telah memproduksi seragam militer untuk setidaknya 30 negara di dunia. Dari jumlah itu, delapan dari negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa. Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.
Tidak hanya itu, Sritex juga merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman. Pada masa jayanya itu, Sritex pun berhasil membukukan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau setara Rp 936 miliar. Setahun setelahnya atau pada 2018 Labanya bahkan melesat setahun setelahnya atau pada 2018 menjadi US$ 84,56 juta. Perusahaan pun masih mencetak kenaikan laba pada 2019 menjadi US$ 87 juta.
Kinerja Sritex melemah pada 2020 saat ekonomi ikut dihantam pandemi Covid-19 tetapi masih mampu mencetak laba US$ 85,32 juta. Neraca keuangan Sritex memburuk sejak 2021 dengan kerugian mencapai US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$).