Indeks Saham Ambruk, Kepercayaan Investor terhadap Indonesia jadi Taruhan?

Ringkasan
- Apindo mendorong pemangku kepentingan untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan terkait anjloknya IHSG dan menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang. Koordinasi yang baik antara otoritas dan dunia usaha diperlukan untuk menjaga kepercayaan pasar.
- Penurunan IHSG diduga dipicu oleh faktor ekonomi domestik yang memicu aksi jual oleh investor asing, tetapi analisis lebih lanjut diperlukan. Fluktuasi pasar saham merupakan hal yang wajar mengingat tingginya volatilitas dan pengaruh berbagai faktor.
- Apindo fokus memantau perkembangan ekonomi domestik dan mendorong kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan tersebut juga harus menjaga kepercayaan investor demi stabilitas dan likuiditas pasar.

Indeks Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG rontok 6,12% atau sebanyak 395,87 poin ke level 6.076 pada penutupan perdagangan sesi pertama hari ini, Selasa (18/3). Pada perdagangan sesi kedua, IHSG masih bergerak di zona merah pada level kisaran Rp 6.100.
Merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI) pun memberlakukan penghentian sementara perdagangan saham atau trading halt pada pukul 11:19 WIB. Trading halt merupakan langkah mitigasi untuk menjaga stabilitas pasar di tengah tekanan jual yang signifikan dan berlaku selama 30 menit.
Selama sesi pertama nilai transaksi saham siang ini sebesar Rp 10,21 triliun dengan volume 15,87 miliar saham. Sementara itu frekuensi sebanyak 887,3 ribu kali. Adapun kapitalisasi pasar turun ke Rp 10.492 triliun.
Berbeda dengan laju IHSG, bursa saham Asia kompak menguat. Indeks Hang Seng terangkat 1,80%, Shanghai Composite naik 0,05%, Nikkei tumbuh 1,45%, dan Straits Times terapresiasi 1,22%. Di bursa global DOW30 tercatat mengalami kenaikan 0,85% diikuti SP500 yang naik 0,64%. Indeks FTSE juga mengalami kenaikan 0,56%.
Rontoknya IHSG terjadi bersamaan dengan pengumuman Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,9%. Proyeksi ini berbeda dengan yang sebelumnya disampaikan OECD dalam Economic Outlook Desember 2024 yang memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2025.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ini terjadi seiring dengan perubahan pandangan OECD terhadap ekonomi negara-negara berkembang. Wakil Sekretaris Jenderal Perkumpulan Profesi Pasar Modal Indonesia Boris Sihar Sirait mengatakan Sentimen global dengan meningkatnya tensi geopolitik ditambah dengan situasi ekonomi lokal dinilai mempengaruhi bursa saham Indonesia.
Menurut Boris, kepercayaan investor terutama asing sangat dipengaruhi oleh situasi domestik. “Bila ekonomi tumbuh investor jadi lebih percaya berinvestasi di pasar modal. Kalau pertumbuhan ekonomi lemah mungkin akan mendorong investasi menurun,” ujar Boris dalam diskusi yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia, Selasa (18/3).
Sebelumnya Kementerian Keuangan mencatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN pada Februari 2025 sebesar Rp 31,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara baru mencapai Rp 316,9 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun dalam dua bulan pertama tahun ini.
Pada akhirnya, Kemenkeu mencatat defisit APBN Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit ini melebar dibandingkan posisi bulan sebelumnya atau Januari 2025 yang tercatat mencapai Rp 23,5 triliun atau 0,10% terhadap PDB. Kondisi ini bahkan berbanding terbalik dibandingkan Februari 2024 yang mencatatkan surplus Rp 26 triliun.
Faktor Kepercayaan di Bursa Efek Indonesia
Pentingnya faktor kepercayaan bagi pelaku pasar dan dampaknya terhadap pasar saham juga disinggung oleh Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy. Budi mengatakan penurunan IHSG yang tajam dan berbanding terbalik dengan mayoritas bursa global hari ini lebih disebabkan oleh faktor dalam negeri.
Budi menilai para pelaku pasar memiliki sentimen negatif dari berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang terus digulirkan. “Semakin susut kepercayaan investor terutama investor asing terhadap prospek ekonomi kita,” ujar Budi saat dihubungi, Selasa (18/3).
Menurut Budi, turunnya kepercayaan pelaku pasar ini tercermin dalam Economic Experts Survey yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI pada Senin (17/3) lalu. Dalam survei independen itu LPEM mencatat mayoritas ahli, yaitu 23 ahli dari 42 ahli atau 55% responden, setuju bahwa kondisi ekonomi saat ini telah memburuk dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu.
Sementara itu Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan kondisi ekonomi juga diperburuk dengan kebijakan yang diambil pemerintah. “Kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi yang jelas,” ujar Wijayanto.
Menurutnya, belakangan juga beredar banyaknya kasus korupsi besar yang berdampak buruk kepada kepercayaan investor. Belum lagi revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang berpotensi menimbulkan gejolak politik.
Kondisi ini pada akhirnya juga berdampak kepada pasar. “Spekulan bermain memanfaatkan psikologi pasar yang khawatir,” kata Wijayanto.
Pendapat serupa juga disampaikan Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus. Meski begitu ia mengatakan penurunan IHSG yang drastis juga tak bisa dilepaskan dari tensi geopolitik global yang meningkat. Kekhawatiran atas resesi Amerika Serikat di tengah perang dagang dan tensi hubungan Amerika Serikat dan Rusia yang meningkat.
Kekhawatiran terhadap faktor global ini diperparah dengan menurunnya kepercayaan terhadap ekonomi Tanah Air. Penerimaan Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30% menjadi salah satu indikator yang membuat investor khawatir.
Penurunan ekonomi itu menurut Maximilianus mengakibatkan defisit APBN melebar sehingga membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan tentu saja Rupiah kian semakin melemah. Hal ini yang berpotensi menyebabkan tingkat suku bunga Bank Indonesia juga akan lebih sulit untuk mengalami penurunan.
“Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain,” ujar Maximilianus.
Lebih jauh ia menjelaskan selama ketidakpastian ekonomi berlanjut, investor akan cenderung memilih instrumen investasi yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. “Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham,”ujar dia lagi.
Sejumlah Kebijakan Menjadi Sentimen Negatif bagi Pelaku Pasar
Persoalan kepercayaan atau trust memang menjadi salah satu yang belakangan banyak dibincangkan para pelaku pasar. Sejumlah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Pemerintahan Prabowo Subianto dinilai tidak cukup memberi kepastian dalam berusaha.
Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut bahwa saham adalah judi menjadi sentimen negatif di awal pemerintahan yang sempat membuat pasar saham bergejolak. Setelah itu Prabowo mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai berdampak langsung pada emiten perbankan raksasa seperti kebijakan penghapusan pencatatan utang Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Kebijakan menghapus pencatatan utang KUR dari laporan keuangan bank pelat merah membuat investor meragukan transparansi pengelolaan aset perbankan. Ditambah lagi belakangan Prabowo meminta BUMN perbankan turut mendanai koperasi merah putih dengan nilai mencapai Rp 5 miliar untuk setiap koperasi.
Sentimen negatif berlanjut saat Prabowo meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara dengan memasukkan seluruh perusahaan Badan Usaha Milik Negara ke dalam portofolio Danantara. Kebijakan ini dinilai berisiko lantaran sejumlah emiten BUMN ikut menjadi penopang sejumlah BUMN sakit yang masuk dalam Danantara. Ditambah lagi para pelaku pasar meragukan pengawasan dan pengelolaan aset super holding BUMN itu.