Airlangga Usulkan BEI Evaluasi Aturan Trading Halt saat IHSG Rontok 5%

Muhamad Fajar Riyandanu
18 Maret 2025, 17:39
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (ketiga kiri) menyampaikan keterangan didampingi Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun (kedua kiri), Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman (kiri) di Kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nz
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (ketiga kiri) menyampaikan keterangan didampingi Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun (kedua kiri), Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman (kiri) di Kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengusulkan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk meninjau ulang ketentuan penghentian sementara perdagangan atau trading halt. Peraturan penghentian perdagangan otomatis itu berlaku ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan lebih dari 5%.

Airlangga menyampaikan aturan trading halt yang berlaku saat ini dibuat saat pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Ketetapan tersebut bertujuan untuk menstabilkan reli pasar saham ketika kondisi krisis ekstrem.

Ketua Umum Partai Golkar 2017-2024 itu mengirim sinyal kemungkinan trading halt 5% akan diubah sehingga lebih relevan dengan kondisi pasar saat ini.

"Kami melihat juga karena regulasi halt yang 5% itu kan kemarin diberlakukan saat Covid, tentu ini perlu ada review mengenai regulasi tersebut," kata Airlangga di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (18/3).

BEI memberlakukan penghentian sementara perdagangan atau trading halt selama 30 menit pada Selasa (18/3) pukul 11:19:31 WIB setelah IHSG anjlok hingga 5,02%.

Setelah perdagangan dibuka, IHSG Kembali rontok 6,12% ke level 6.076 pada penutupan perdagangan sesi pertama hari ini. IHSG bahkan sempat menyentuh level 6.011 meski hanya berlangsung sebentar.

Airlangga menganggap penurunan kinerja pasar saham domestik yang memicu trading halt kali ini merupakan hal wajar dan tidak mengkhawatirkan. Dia menyebut situasi saat ini merupakan dampak dari penurunan tajam kinerja pasar saham di negara lain dalam beberapa pekan terakhir.

"Kalau dari segi fundamental kuat. Kalau penurunan ini kan diberbagai negara saham naik turun itu biasa. Saat saham negara lain turun cukup dalam minggu-minggu lalu, nah mungkin kemarin kita belum terlalu kena, baru berimbas satu-dua hari ini," ujar Airlangga.

Menteri Perindustrian 2016-2019 itu juga menyebut kondisi ambruknya IHSG yang mendorong trading halt bisa dipicu oleh penurunan kinerja kelompok korporasi tertentu.

"Seperti biasa ada saham-saham yang turun akibat mungkin laporan keuangannya atau informasinya sudah keluar. Ini ada satu grup yang turunnya cukup dalam," kata Airlangga.

IHSG Rontok 6% Apa Sebabnya? 

Berbeda dengan laju IHSG, bursa saham Asia kompak menguat. Indeks Hang Seng terangkat 1,80%, Shanghai Composite naik 0,05%, Nikkei tumbuh 1,45%, dan Straits Times terapresiasi 1,22%. Di bursa global DOW30 tercatat mengalami kenaikan 0,85% diikuti SP500 yang naik 0,64%. Indeks FTSE juga mengalami kenaikan 0,56%. 

Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan penurunan IHSG lebih disebabkan oleh faktor dalam negeri. Ia menilai para pelaku pasar memiliki sentimen negatif dari berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang terus digulirkan. 

“Semakin susut kepercayaan investor terutama investor asing terhadap prospek ekonomi kita,” ujar Budi saat dihubungi, Selasa (18/3). 

Menurut Budi, turunnya kepercayaan pelaku pasar ini tercermin dalam Economic Experts Survey yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI pada Senin (17/3) lalu. Dalam survei independen itu LPEM mencatat mayoritas ahli, yaitu 23 ahli dari 42 ahli atau 55% responden, setuju bahwa kondisi ekonomi saat ini telah memburuk dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu.

Sementara itu Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus menilai penurunan IHSG yang drastis bermula dari tensi geopolitik global yang meningkat. Kekhawatiran atas resesi Amerika Serikat di tengah perang dagang dan tensi hubungan Amerika Serikat dan Rusia yang meningkat. 

Kekhawatiran terhadap faktor global ini diperparah dengan menurunnya kepercayaan terhadap ekonomi Tanah Air. Penerimaan Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30% menjadi salah satu indikator yang membuat investor khawatir. 

Penurunan ekonomi itu menurut Maximilianus mengakibatkan defisit APBN melebar sehingga membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan tentu saja Rupiah kian semakin melemah. Hal ini yang berpotensi menyebabkan tingkat suku bunga Bank Indonesia juga akan lebih sulit untuk mengalami penurunan.

“Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain,” ujar Maximilianus. 

Lebih jauh ia menjelaskan selama ketidakpastian ekonomi berlanjut, investor akan cenderung memilih instrumen investasi yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. “Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham,”ujar dia lagi. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan