Ekonom Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Buat Kebijakan, Jaga Kepercayaan Investor


Pemerintah diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan agar tak berdampak pada kepercayaan investor yang menyebabkan pasar saham bergejolak. Hal itu diperlukan agar situasi saat Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan penghentian sementara perdagangan (trading halt) pada Selasa (18/3) tak terulang.
Pada Selasa lalu, BEI melakukan trading halt lantaran Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 5,02%. Pada hari yang sama, IHSG bahkan terpuruk hingga 7% di saat pasar saham di negara lain di Asia menguat.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai turunnya pasar saham menunjukkan lemahnya ekonomi Indonesia akibat kebijakan utang luar negeri yang tidak dikelola dengan baik. Tak hanya itu, ia menilai anjloknya IHSG bukan hanya karena situasi global yang tidak menentu, tetapi juga tanda bahaya bahwa ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas, kurang inovasi, dan terus berutang untuk membiayai program seperti MBG, Bansos, serta subsidi listrik 50%.
“Jika pemerintah tidak segera menghentikan kebijakan serampangan ini, krisis kepercayaan investor akan semakin dalam, dan IHSG hanya menjadi awal dari rantai masalah yang lebih besar,” kata Achmad seperti dikutip Kamis (20/3).
Achmad menyoroti bahwa ekonomi Indonesia masih bergantung pada komoditas, dengan 35% pendapatan ekspor berasal dari batu bara, CPO, dan nikel. Pada kuartal pertama 2025, harga ketiga komoditas ini turun 10-15% karena lemahnya permintaan global, langsung berdampak pada kinerja emiten tambang yang mendominasi pasar saham.
Ia mencontohkan, saham PT Alamtri Resources Tbk (ADRO) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) anjlok lebih dari 12% dalam seminggu. Ia menilai IHSG sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas.
Menurut Achmad, saat ini upaya diversifikasi ekonomi belum berjalan maksimal. Sejak 2020, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB tetap di angka 19%, sementara industri bernilai tambah tinggi seperti elektronik dan otomotif masih tertinggal dari Vietnam dan Thailand.
Alih-alih mempercepat industrialisasi, ia mengklaim pemerintah justru mengandalkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah (downstreaming) yang melemahkan daya saing.
“Contohnya, larangan ekspor nikel tanpa disertai progres smelter yang masif hanya menguntungkan segelintir konglomerat, sementara UMKM tambang tradisional kolaps,” tambah Achmad.
Kebijakan Populis
Selain persoalan kebijakan di bidang energi, Achmad menilai di tengah keterbatasan anggaran, pemerintah justru mengambil risiko dengan mendorong program populis seperti makan siang gratis, subsidi energi, BLT, dan pembangunan infrastruktur besar seperti IKN kurang produktif. Pada 2024, defisit APBN mencapai 2,8% dari PDB, terutama akibat subsidi energi yang tidak tepat sasaran sebesar Rp 650 triliun dan anggaran bansos Rp 150 triliun.
Menurut Achmad, ironisnya sebanyak 70% dana subsidi justru dinikmati oleh 20% masyarakat kelas menengah atas. Sementara proyek infrastruktur seperti IKN dan bandara di daerah sepi malah menjadi beban biaya pemeliharaan dalam jangka panjang.
“Yang lebih mengkhawatirkan, utang menjadi andalan untuk menutupi defisit,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa utang pemerintah telah mencapai Rp 9.000 triliun pada 2025. Angka ini setara dengan 40% dari PDB, dengan pembayaran bunga utang mencapai Rp 450 triliun per tahun, nilai ini hampir sebesar anggaran pendidikan.
Kondisi ini tidak hanya menekan keuangan negara, kata Achmad, tetapi juga merusak kepercayaan investor terhadap kredibilitas fiskal Indonesia. Menurutnya, hal itu membuat investor asing terus menarik dana dari pasar saham, dengan arus keluar modal asing mencapai Rp 10 triliun dalam sebulan terakhir.
Efek Domino Utang
Achmad juga menyoroti bahwa tingginya akumulasi utang pemerintah memaksa Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di 5,75% pada Maret 2025 guna mencegah arus keluar modal dan menjaga imbal hasil obligasi. Ini merupakan tingkat yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Namun, ia mengatakan tingginya suku bunga tinggi justru merugikan sektor riil. Kredit investasi hanya tumbuh 5% (yoy), jauh dari target 12%, yang menandakan lambatnya ekspansi bisnis. Menurutnya UMKM menjadi yang paling terdampak, dengan 60% pelaku usaha mengeluhkan sulitnya mendapatkan pinjaman dari bank.
“Utang juga mengalihkan alokasi APBN dari belanja produktif,” ujarnya.
Di samping itu, menurutnya anggaran riset dan pengembangan (R&D) pada 2025 hanya Rp 35 triliun atau 0,3% dari PDB, jauh tertinggal dibandingkan Korea Selatan yang mengalokasikan 4% PDB untuk inovasi. Ia mengatakan tanpa investasi di bidang riset, Indonesia akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Demi mencegah IHSG terus melemah, ia mengatakan pemerintah harus menghentikan kebijakan populis jangka pendek dan beralih ke reformasi struktural. Ini termasuk menghentikan proyek infrastruktur yang kurang produktif seperti IKN, mengurangi program populis ambisius seperti MBG dan pembangunan 3 juta rumah, serta mengalokasikan anggaran yang ada untuk menciptakan lapangan kerja dan mendorong investasi di sektor R&D.