Prospek Emiten TP Rachmat TAPG-DSNG Saat Tarif Ekspor CPO Naik, Ini Proyeksinya


Emiten perkebunan sawit mengalami tantangan baru di tengah keputusan pemerintah menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari 7,5% menjadi 10%. Head of Investment Information Mirae Asset Martha Christina mengatakan kenaikan pajak tersebut akan berimbas pada kinerja keuangan perusahaan.
“Menurut saya sih akan menurunkan laba, tapi tidak dalam posisi yang signifikan,” ujar Martha dalam acara Media Day di Mirae Asset Sekuritas Investment House di Jakarta, Kamis (15/5). Meski demikian, Martha mengatakan walau pajak meningkat harga CPO masih cukup menarik di atas RM 3.800.
Menurut Martha kemampuan perseroan dalam mengelola operasional akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Ia meyakini, di tengah tekanan pungutan ekspor CPO, emiten di bawah konglomerasi besar masih berpotensi mendulang cuan di 2025.
Atas beberapa pertimbangan, Martha menilai dua emiten sawit di bawah bendera Triputra Group milik konglomerat Theodore Permadi Rachmat yaitu PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) dan PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) tetap memiliki prospek yang menarik. Analis Mirae tersebut melihat pertumbuhan produksi dua emiten tersebut sedang bergairah.
Selain itu, Martha menilai faktor harga saham dua emiten tersebut juga masih terjangkau oleh publik. Tidak murah dan tidak mahal. “Karena usia kebun dua emiten itu juga produktif,” tutur Martha.
Triputra Group merupakan perusahaan yang didirikan TP Rachmat pada 1998. Ia membawa Triputra Agro Persada melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2021 dengan harga IPO Rp 200. Di entitas ini TP Racmat tercatat sebagai pemegang saham secara langsung dengan kepemilikan 5,2%.
TAPG memiliki pengendalian yang sama dengan Dharma Satya melalui PT Triputra Investindo Arya yang juga dimiliki oleh TP Rachmat. Di TAPG, Triputra Investindo memiliki 24,07% saham dan di DSNG memiliki 27,63% saham. Adapun TP Rachmat secara pribadi memiliki 4,08% saham DSNG.
Gerak Saham TAPG dan DSNG
Triputra Agro Persada bekerjasama dengan anak usahanya di Sumatera dan Kalimantan di bidang perkebunan sawit dan karet. Pergerakan saham TAPG tumbuh bergairah secara year on year (yoy). Saham tumbuh 69,44% atau 375 poin ke level 915. Baik ditinjau secara year to date ataupun mingguan, saham bergerak dalam zona hijau yang menanjak.
Melansir data di keterbukaan informasi BEI, laba (rugi) yang dapat diatribusikan ke entitas induk sebesar Rp 805 miliar naik 117% dari sebelumnya sebesar Rp 370 miliar pada periode yang sama secara yoy.
Sementara saham Dharma Satya Nusantara mulanya adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan kayu berkualitas untuk diekspor. Kemudian bergeser menjadi perseroan yang berkecimpung dalam industri pabrik kelapa sawit dan industri produk kayu.
Pada 2022, lahan sawit yang tertanam mencapai 112.600 hektar. Lahan tersebut terdiri dari perkebunan inti sebesar 84.600 hektar dan plasma seluas 28.000 hektar. Tak hanya itu, perseroan ini juga memiliki 10 pabrik kelapa sawit dengan kapasitas produksi mencapai 570 ton per jam.
Data perdagangan BEI mencatat, saham DSNG stagnan di level 785. Menilik pergerakan satu minggu, DSNG melesat 6,80%, sebaliknya, secara year to date saham emiten milik Arianto Oetomo ini turun 17,37%. Merujuk keterbukaan informasi, adapun laba (rugi) yang dapat diatribusikan ke entitas induk pada kuartal pertama tahun 2025 ini naik 62% menjadi Rp 368 miliar dari Rp 226 miliar secara yoy.
Kenaikan Ekspor CPO Bikin Gapki Waswas
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengeluhkan kenaikan pajak harga CPO. Ketua Umum Gapki Eddy Martono menilai kenaikan pungutan ini akan menambah beban pelaku usaha dan berpotensi menurunkan daya saing harga sawit Indonesia di pasar global.
Imbas kenaikan pungutan ini, harga minyak sawit Indonesia jadi lebih mahal dibandingkan dengan negara jiran. Sementara itu, pelaku industri sawit sudah menanggung tiga beban sekaligus yaitu pungutan ekspor (PE), bea keluar (BK) dan kewajiban pasok ke dalam negeri (DMO).
Sebelum adanya kenaikan pungutan, total beban yang ditanggung pelaku industri mencapai US$ 221 per metrik ton saat harga CPO berada di kisaran Rp 14.000 per kilogram. "Ketika dirasa terlalu menekan harga TBS (tandan buah segar) petani, maka kita akan berdiskusi dengan pemerintah," kata Eddy pada Kamis (15/5).
Pemerintah menetapkan kebijakan ini dalam PMK No. 30/2025 sebagai bentuk penyesuaian tarif layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) Kementerian Keuangan.
Tarif pungutan ini berlaku untuk eksportir dan pelaku industri kelapa sawit, CPO, serta produk turunannya. Besaran pungutan ditentukan berdasarkan harga referensi CPO yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.