Kilas Balik Krisis Global 2008: Efek Subprime Mortgage dan Kejatuhan Pasar Saham
Krisis keuangan global 2008 menjadi krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar pada 1930-an. Kejatuhan pasar saham Amerika Serikat akibat krisis yang bermula dari meledaknya subprime mortgage memicu anjloknya bursa saham global.
Krisis subprime mortgage berawal dari fenomena lonjakan pinjaman Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada peminjam dengan skor kredit rendah. Skema ini populer sejak awal 2000-an, seiring dengan kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang menurunkan suku bunga ke level sangat rendah. Di tengah rendahnya suku bunga, perusahaan keuangan AS gencar menyalurkan kredit, bahkan ke debitur berisiko tinggi.
Bank-bank raksasa Amerika Serikat yang merupakan bank investasi menyekuritisasi pinjaman tersebut menjadi produk derivatif seperti Mortgage-Backed Securities (MBS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO). Aset-aset ini tak hanya dijual ke investor AS, tetapi jua global. Mereka membayar mahal lembaga pemeringkat untuk memberikan rating tinggi pada produk berisiko, yang membuat investor merasa aman.
Namun, ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga secara bertahap hingga mencapai 5,25% pada Juli 2006, gelembung properti AS mulai pecah. Kredit macet meningkat tajam, harga rumah anjlok, dan nilai produk-produk derivatif berbasis KPR jatuh drastis.
Bangkrutnya Lehman Brothers
Kondisi-kondisi tersebut memicu perusahaan keuangan Bear Stearns kolaps dan diakuisisi darurat oleh JP Morgan Chase pada Maret 2007. Peristiwa ini dianggap sebagai awal krisis subprime mortgage di Wall Street.
Titik puncaknya terjadi pada 15 September 2008, saat Lehman Brothers—bank investasi keempat terbesar AS—resmi bangkrut. Peristiwa ini memicu kekacauan pasar global dan dikenal sebagai Black Monday.
Dampak Global: Bursa Saham Dunia Terpuruk
Kepanikan melanda pasar keuangan dunia. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 33,88% sepanjang 2008, sedangkan indeks saham utama Eropa, FTSE 100, merosot 30,9%.
Total kapitalisasi pasar saham dunia anjlok drastis dari US$60,9 triliun pada 2007 menjadi US$31,9 triliun pada 2008, atau turun 47,6%.
International Monetary Fund (IMF) memperkirakan kerugian global akibat krisis ini mencapai US$945 miliar. Efek domino menjalar ke sektor real estat, kredit konsumen, hingga pasar obligasi dan komoditas global.
Krisis Subprime Mortgage Mengguncang Indonesia
Pasar saham Indonesia turut terdampak. Penurunan tajam di Wall Street menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Rata-rata volume transaksi harian di Bursa Efek Indonesia (BEI) turun 22,3% year-on-year (yoy), dari 4,23 miliar lembar saham pada 2007 menjadi 3,3 miliar lembar pada 2008.
Pada Oktober 2008, IHSG anjlok hingga 40% secara tahunan, menyentuh level 1.451.
Kebijakan Trading Halt oleh BEI
Untuk meredam gejolak pasar, BEI memberlakukan trading halt pada 8–10 Oktober 2008. Mekanisme ini membatasi pergerakan harga saham secara otomatis melalui auto rejection.
Saat itu, belum ada regulasi tertulis mengenai trading halt. BEI baru merilis panduan resminya pada 2012.
Selain itu, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (kini Otoritas Jasa Keuangan/OJK) melarang transaksi short-selling dan membatasi perdagangan marjin guna mencegah aksi jual besar-besaran.
Meski sempat mengalami deflasi pada Desember 2008 dan Januari 2009, Indonesia cepat pulih berkat konsumsi domestik yang kuat. IHSG pun berangsur naik dan menembus level 2.500 pada akhir 2009.
