Purbaya Jawab Kritik Rektor Paramadina soal Uang Rp 200 T: Tak Ada Masalah Hukum
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa merespons kritik yang menyebutkan bahwa langkahnya menempatkan uang pemerintah Rp 200 triliun di bank-bank BUMN melanggar undang-undang. Kritik ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini.
Purbaya menjelaskan, telah mendapatkan masukan dari ahli hukum berkaitan dengan kebijakannya itu. “Dia bilang sama saya, Pak Didik salah dan hal ini pernah dilakukan sebelumnya,” kata Purbaya saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/9).
Purbaya menjelaskan, menempatkan uang negara yang ada di Bank Indonesia ke sistem perbankan pada dasarnya bukan perubahan anggaran. “Dulu pernah dijalankan tahun 2008 bulan September. 2021 bulan Mei, enggak ada masalah. Jadi, Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya,” ujar Purbaya.
Aturan yang Berpotensi Dilanggar
Sebelumnya, Didik yang juga pendiri sekaligus ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu mengingatkan langkah pemerintah menempatkan dana negara Rp 200 triliun di perbankan berpotensi melanggar aturan.
Sebab, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah diatur oleh Undang-undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN yang ditetapkan setiap tahun. “Inilah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan, yang harus dijalankan karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan,” kata Didik dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/9).
Didik menegaskan, pelaksanaan anggaran dan pengelolaan kas oleh Kementerian Keuangan, baik penerimaan, belanja, maupun utang harus berlandaskan undang-undang. “Pejabat mana pun tidak boleh melanggarnya,” ujar Didik.
Menurutnya, pengeluaran dana Rp 200 triliun juga berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 22 ayat (4), (8), dan (9). Pasal 22 ayat (4) mengatur bahwa untuk kepentingan operasional APBN, Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) serta rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum.
Ayat (8) menegaskan rekening pengeluaran diisi dana dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) di Bank Sentral. Sementara ayat (9) membatasi jumlah dana yang disediakan sesuai kebutuhan pemerintah yang telah ditetapkan dalam APBN.
Dia menilai pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar ayat (9).
"Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan,” kata Didik.
Ia menambahkan, meski Menteri Keuangan diperbolehkan membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), hal itu terbatas pada kepentingan operasional APBN.
“Penempatan dana Rp 200 triliun dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2004,” ujarnya.
Karena itu, Didik menyarankan presiden turun tangan untuk menghentikan praktik tersebut. “Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” katanya.
Ia menegaskan, sebaiknya pemerintah menjalankan program melalui mekanisme legislasi yang baik dalam APBN, diajukan secara sistematis, jelas mengenai jumlah yang diperlukan, serta program yang akan dijalankan.
“Tidak ada lagi program yang diambil dari ingatan sepintas yang keluar dari wawancara spontan yang dicegat atau doorstop,” ujar Didik.
