Laba Bank BUMN Loyo pada Kuartal III 2025, Ada Andil Kebijakan Pemerintah?
Kinerja laba bersih keempat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga kuartal ketiga tahun ini turun 8,8% secara tahunan menjadi Rp 95,88 triliun. Kenaikan biaya pencadangan atau impairment menjadi salah satu penyebab loyonya laba bank BUMN meski penyaluran kredit cukup ekspansif.
Biaya pencadangan adalah biaya yang dibebankan oleh bank untuk membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau cadangan piutang tak tertagih. Dana ini disisihkan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin timbul dari kredit yang diberikan, seperti kredit macet, serta memenuhi kewajiban lainnya.
Adapun dari keempat bank BUMN, penurunan laba bersih dialami PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Sedangkan labal PT Tabungan Negara Tbk (BBTN) naik 10%.
| No. | Emiten | Laba 3Q2025 | Laba 3Q2024 | Naik/Turun |
| 1. | PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) | Rp 40,77 triliun | Rp 45,06 triliun | -9,5% |
| 2. | PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) | Rp 37,77 triliun | Rp 42 triliun | -10,3% |
| 3. | PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) | Rp 15,11 triliun | Rp 16,3 triliun | -7,3% |
| 4. | PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) | Rp 2,3 triliun | Rp 1,81 triliun | 10,6% yoy |
| Total | Rp 95,95 triliun | Rp 105,17 triliun | Turun 8,8% | |
Kenaikan biaya pencadangan, antara lain membebani laba BRI. Beban biaya pencadangan bank UMKM ini naik 13,99% menjadi Rp 33,58 triliun. Kondisi serupa juga terjadi pada BNI yang mencatatkan kenaikan biaya pencadangan dari Rp 5,17 triliun menjadi Rp 5,55 triliun.
Di sisi lain, penurunan laba Bank Mandiri, antara lain disebabkan oleh kenaikan komponen beban lainnya dari Rp 20,2 triliun menjadi Rp 27,8 triliun. Laba Mandiri turun meski penyaluran kreditnya paling ekspansif dengan pertumbuhan mencapai 11%.
Namun, benarkah loyonya kinerja bank BUMN ini disebabkan oleh penugasan-penugasan yang diterima dari pemerintah?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, melemahnya kinerja bank-bank Himbara berkaitan erat dengan banyaknya mandat pemerintah kepada bank Himbara, termasuk penugasan yang diwariskan sejak era Presiden Joko Widodo saat gencar membiayai proyek infrastruktur.
Perusahaan BUMN yang menggarap proyek tersebut sebagian tidak dapat membayarkan utangnya kepada bank. Hal ini mempengaruhi kinerja bank-bank tersebut.
“BUMN [Badan Usaha Milik Negara] Karya misalnya, kesulitan untuk melakukan pembayaran utang kepada bank Himbara,” kata Bhima kepada Katadata, Selasa (28/10).
Bhima menilai, beban bank Himbara akan semakin berat akibat tambahan tugas penyaluran dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun melalui pinjaman SAL. Menurutnya, kualitas kredit dari program ini berisiko rendah karena proses asesmen yang tergesa-gesa sementara kualitas kreditnya tidak dinilai secara hati-hati.
Ia juga khawatir dengan dampak program Kopdes Merah Putih. Beban-beban tersebut dinilai berpotensi menaikkan rasio kredit bermasalah (NPL) pada 2026, hingga khawatir bank Himbara akan berkurang kualitas pembiayaannya. Menurut Bhima, pemerintah perlu mengurangi beban penugasan kepada bank Himbara pada 2026 agar kualitas pinjaman tetap terjaga.
“Yang terpenting adalah menjaga kualitas pinjamannya, yang terlanjur sudah disalurkan ya harus didampingi jangan sampai jadi NPL,” ujarnya.
Namun, Head of Research Korea Investment and Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi memandang, turunnya kinerja keuangan anggota bank Himbara bukan karena beban penugasan dari pemerintah. Penurunan kinerja disebabkan efek social lending dan pembiayaan program strategis yang berakibat menekan margin.
“Tapi faktor utama tetap di kenaikan cost of fund dan lambatnya penyaluran kredit korporasi,” kata Wafi.
Berbeda dengan Bima, ia justru menilai penyaluran dana dari pemerintah Rp 200 triliun di bank Himbara membuat likuiditas ketat, persaingan bunga deposito semakin tinggi dan banyak bank yang fokus menjaga kualitas aset, bukan ekspansi agresif.
Hal senada juga disampaikan Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta. Nafan mengatakan, kinerja keuangan anggota Bank Himbara belum optimal karena masih lemahnya pertumbuhan kredit. Menurutnya, penyerapan kredit di sektor produktif pun masih perlu ditingkatkan agar dapat mendorong kinerja secara keseluruhan.
Ia pun melihat prospek perbankan, terutama bank-bank BUMN masih menjanjikan didukung oleh potensi penurunan biaya dana (cost of fund) seiring dengan langkah Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan total 125 basis poin sepanjang 2025. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penyaluran kredit, terutama ke sektor-sektor produktif, dapat lebih optimal.
Efek Penempatan Dana Pemerintah Versi Himbara
Di sisi lain, bank-bank Himbara menyebut tambahan likuiditas dari pemerintah menjadi katalis penting dalam memperluas fungsi intermediasi bank.
Dalam laporan terbaru yang disampaikan Bank Mandiri, perseroan telah menyalurkan 74% atau sekitar Rp 40,7 triliun dari total Rp 55 triliun penempatan dana Kementerian Keuangan hingga akhir September 2025.
Dana tersebut disalurkan kepada lebih dari 24 ribu pelaku usaha di 15 sektor strategis nasional. Penyaluran dana difokuskan pada sektor berorientasi ekspor, padat karya, dan UMKM, guna menopang pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Sementara itu, Direktur Utama BSI Anggoro Eko Cahyo mengatakan, BSI telah menyalurkan seluruh dana penempatan pemerintah sebesar Rp 10 triliun. Dia mengatakan, penempatan dana tersebut turut menunjang kinerja keuangan perseroan pada kuartal ketiga 2025.
“Selain program stimulus tersebut, penurunan BI Rate dan penempatan dana SAL pada periode ini juga membuat likuiditas perbankan lebih kondusif,” kata Anggoro dalam paparan publik kinerja keuangan BSI secara daring, Rabu (29/10).
Menurut Anggoro, kinerja solid BSI pada triwulan ketiga tahun ini tidak lepas dari dukungan kuat pemerintah melalui berbagai kebijakan ekonomi dan stimulus. “Di antaranya, BSI memperoleh penempatan dana SAL sebesar Rp 10 triliun yang sudah terserap habis,” ujarnya.
Penempatan dana tersebut, kata dia, mendorong posisi Dana Pihak Ketiga (DPK) BSI per kuartal ketiga 2025 tumbuh 15,66% secara tahunan mencapai Rp 348,38 triliun. Mayoritas DPK kini berada pada kategori dana murah (CASA) sebesar 59,42%.
