Mengapa Kredit Masih Lambat Meski Purbaya Sudah Gelontorkan Rp 200 T ke Bank?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menginjeksi likuiditas perbankan mencapai Rp 200 triliun pada September 2025. Namun, efek penempatan uang negara ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan kredit.
Purbaya mengakui penyaluran kredit justru melambat. Penyaluran kredit tercatat turun dari 7,7% pada September secara tahunan (yoy) menjadi 7,36% (yoy) pada Oktober 2025. Ia memprediksi dampak secara menyeluruh dari penempatan dana ini baru akan terasa pada akhir 2025.
“Setidaknya dampak penuh dari tambahnya likuiditas itu sampai dua hingga tiga bulan. Jadi baru kita lihat impact penuhnya di Desember, Januari 2026,” kata Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (20/11).
Sejumlah ekonom mengungkapkan ada sejumlah hal yang membuat langkah pemerintah menempatkan dana di perbankan belum membuahkan hasil yang maksimal. Khususnya dalam mendorong kredit dan menggerakan sektor riil.
Bank Tak Banyak Menyerap
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, pertumbuhan kredit pada Oktober 2025 justru menjadi yang terendah sejak Juni 2025. “Ini mengindikasikan gelontoran Rp 200 triliun kepada Himbara tidak banyak terserap,” kata Wijayanto keapda Katadata.co.id, Jumat (21/11).
Padahal, Kementerian Keuangan mengklaim hingga 22 Oktober 2025 dana itu sudah terserap 84% di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan bank Syariah Indonesia (BSI). Bahkan per 10 November 2025, pemerintah kembali menempatkan dana di Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank DKI mencapai Rp 76 triliun.
Dalam konteks ini, Wijayanto menilai Kemenkeu perlu memastikan akurasi laporan dari Himbara. “Begitu dana masuk ke Himbara, ia akan bercampur dengan dana pihak ketiga lainnya, bisa jadi kenaikan kredit tersebut bukan eksklusif dari dana Rp 200 triliun saja,” ujar Wijayanto.
Daya Beli Belum Kuat
Ekonom CORE Indonesia Yusuf rendy Manilet mengungkapkan penyebab utama dari pertumbuhan kredit yang melemah adalah dari sisi permintaan.
“Dari sisi supply sebenarnya bank sangat longgar, likuiditas melimpah, insentif makroprudensial ada, BI-Rate juga relatif rendah. Tapi permintaan kreditnya yang belum benar-benar pulih,” ujar Yusuf.
Yusuf menjelaskan, daya beli masyarakat memang belum kembali kuat. Pada kuartal I 2025 konsumsi rumah tangga hanya ada di level 4,95% (yoy), kuartal II hanya 4,97%, dan kuartal III menyusut 4,89%.
“Konsumsi rumah tangga sepanjang 2025 cenderung melemah, inflasi pangan sempat tinggi, dan kelas menengah agak tertekan,” kata Yusuf.
Ia menilai hal itu membuat kredit konsumsi seperti Kredit pemilikan Rumah (KPR) dan kendaraan tumbuh lebih lambat.
Prospek Usaha dan Kualitas Debitur
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan pernyataan Purbaya terkait efek dari penempatan dana pemerintah ini menunjukkan bahwa desain kebijakan sejak awal terlalu percaya bahwa likuiditas otomatis berubah menjadi kredit produktif.
Syafruddin menjelaskan, bank yang menyerap dana itu memang banyak tetapi tidak menyalurkan kredit hanya karena kas melimpah. “Ini karena melihat prospek usaha dan kualitas debitur,” kata Syafruddin.
Di tengah ketidakpastian pajak, Syafruddin mengatakan saat ini juga terjadi tekanan biaya hidup dan sinyal ekonomi daerah yang lemah. Belum lagi manajemen risiko bank justru terdorong untuk berhati-hati.
Menurutnya, banyak bank cenderung memakai dana murah pemerintah untuk menggantikan sumber pendanaan lain dan merapikan neraca. Bank tidak agresif membuka keran kredit baru.
“Jika otoritas fiskal baru mengakui bahwa efeknya mundur ke Desember, itu artinya transmisi kebijakan likuiditas jauh lebih lambat dari klaim awal dan mengonfirmasi bahwa persoalan utama terletak pada iklim usaha, bukan ketersediaan dana di neraca bank,” ujar Syafruddin.
Pelaku Usaha Tahan Ekspansi
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mengakui pertumbuhan kredit perbankan perlu terus ditingkatkan. Hal ini penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Permintaan kredit yang belum kuat dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih menahan ekspansi atau wait and see,” kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan November 2025, Rabu (19/11).
Selain itu, Perry mengungkapkan lambatnya pertumbuhan kredit juga dikarenakan optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi. Begitu juga dengan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi.
