Likuiditas Bank Ketat, BI Disarankan Perlonggar Kebijakan GWM
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan dana nasabah alias Dana Pihak Ketiga (DPK) masih melambat hingga akhir tahun. Alhasil, selisih DPK dan kredit diperkirakan hanya akan berkisar Rp 99 triliun di pengujung tahun. Ekonom menilai BI perlu memperlonggar kebijakan Giro wajib Minimum (GWM) perbankan untuk merespons kondisi likuiditas saat ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kebijakan ketat BI terkait GWM membuat perputaran uang di perbankan menurun. "Seharusnya BI melakukan pelonggaran moneter. Jangan terlalu kencang-kencang kontraksinya," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (28/9).
GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI. GWM diperhitungkan dari dana pihak ketiga (DPK) rupiah dan valuta asing (valas). Adapun BI sebetulnya secara bertahap telah memperlonggar kebijakan tersebut untuk memberikan keleluasaan bagi bank dalam mengelola likuiditasnya.
Per Juli lalu, GWM tetap untuk DPK rupiah dipatok sebesar 4,5%, dari sebelumnya 5%. Sementara itu, GWM rata-rata-nya dinaikkan dari 1,5% menjadi 2%. Di sisi lain, GWM tetap untuk DPK valas dipatok sebesar 6% dari total DPK, dari sebelumnya 8% dan ditambah GWM rata-rata 2%.
(Baca juga: Likuiditas Bank Ketat, Selisih Kredit & DPK Tersisa Rp 99 T Akhir 2018)
Adapun bank bermodal kecil yaitu bank umum kegiatan usaha (BUKU) I dan BUKU II, dinilai Piter sebagai kelompok bank yang paling harus bekerja keras untuk meningkatkan perolehan DPK dengan menawarkan bunga deposito yang tinggi. "Kalau tidak likuiditas ketat," ujarnya.
Pendapat senada disampaikan Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Menurut dia, pengetatan likuiditas tak bisa dihindari seiring faktor eksternal. Namun, BI dinilai bisa merespons dengan memperlonggar lebih lanjut ketentuan GWM. "Ini tidak bisa dihindari, mungkin dengan instrumen moneter bisa menjaga aliran likuiditas jangan terlalu ketat," katanya.
Pertumbuhan DPK terpantau terus melambat. Pada Juni lalu, pertumbuhan DPK tercatat sebesar 7%, lalu melambat menjadi 6,91% pada Juli, dan melambat kembali menjadi hanya 6,88% per Agustus. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kredit yang tumbuh semakin kencang. Pada Juni lalu, pertumbuhannya sebesar 10,75%, lalu naik menjadi 11,34% pada Juli lalu.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menjelaskan, perlambatan pertumbuhan DPK tersebut terjadi pada DPK valas lantaran adanya pembayaran impor dan proyek-proyek infrastruktur. Selain itu, penurunan DPK disebabkan korporasi yang mengurangi pinjaman luar negeri, dan korporasi yang memilih menghabiskan anggaran belanja modal atau capital expenditure.
Faktor lainnya, penurunan simpanan yang cukup besar dari Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB). Hal ini karena adanya ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta LKNB untuk menyiapkan bantalan dana (buffer) yang disimpan dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).