Konsolidasi Perbankan, Modal Makin Kuat dan Perusahaan Ramping
Ingat iklan salah satu produk camilan wafer yang khas dengan jawaban, “ratusan”-nya? Hehe. Kata ini boleh juga kita pakai untuk menjawab pertanyaan terkait populasi bank di Indonesia, lho. “Ada berapa bank?” / “Ratusan!”.
Memang demikian. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Mei tahun ini, jumlah lembaga keuangan bank di dalam negeri mencapai lebih dari seratus. Tepatnya ada 115 bank terdiri dari 102 unit bank umum konvensional dan 13 lainnya bank umum syariah.
Jumlah 115 bank bisa dikatakan banyak dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. LPS sempat menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat pertama kategori negara dengan jumlah bank terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Pada waktu mendatang, OJK memang akan terus mengarahkan supaya populasi bank di Indonesia lebih ramping. Misi ini diperkuat dengan kehadiran POJK No. 39/POJK.03/2017 tentang kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia.
Otoritas menetapkan, satu pihak cuma bisa menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu bank saja. Alhasil, aksi konsolidasi menjadi kewajiban untuk dilakukan si pemilik modal. Opsi yang dapat ditempuh ialah melalui merger maupun pembentukan holding.
Sejak pengujung Juli hingga memasuki bulan ini, Agustus, kabar soal konsolidasi bank kian menghangat. Pada 2 Agustus 2018, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) mengumumkan resmi rencana penggabungan usaha alias merger dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI).
Sebelumnya pada 31 Juli 2018, PT Bank Danamon Indonesia Tbk. memastikan hendak merger dengan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. (BNP). Penggabungan keduanya merupakan syarat OJK kepada Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. jika MUFG hendak menambah kepemilikan sahamnya pada Bank Danamon dari 40% menjadi 73,8%.
(Baca juga: OJK Restui Bank of Tokyo Jadi Pengendali, Harga Saham Danamon Melonjak)
Aksi konsolidasi tersebut tidak hanya dilakukan pemodal asal Negeri Sakura tetapi juga oleh investor Korea Selatan (Korsel). APRO Finansial Holding, misalnya, tengah menantikan restu OJK untuk menggabungkan PT Bank Dinar Indonesia Tbk. dengan Bank Oke Indonesia.
Masih ada satu lagi praktik konsolidasi perbankan, yakni dialami PT Bank Bukopin Tbk. Bank asal Korsel, KB Kookmin Bank, resmi menjadi pemegang saham emiten berkode saham BBKP ini melalui penawaran saham baru dengan HMETD alias rights issue bernilai Rp1,46 triliun.
OJK menyatakan, setiap perseroan memiliki pertimbangan strategi yang berbeda dalam melakukan aksi korporasi. Misalnya, Bukopin memilih untuk menambah kekuatannya di segmen kredit usaha kecil dan menengah (UKM) melalui sokongan Kookmin Bank yang memiliki fokus bisnis sama.
Jurubicara OJK Sekar Putih Djarot menuturkan, konsolidasi diharapkan berimbas positif bagi kinerja industri perbankan secara umum. Penggabungan usaha bukan cuma membantu merampingkan jumlah bank tetapi juga memperkuat modal yang ujungnya diharapkan memperderas aliran kredit.
“Konsolidasi dapat memperkuat permodalan. Ini mendukung perkembangan bisnis perbankan sehingga dapat meningkatkan daya saing dan berkontribusi lebih kepada perkonomian nasional,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (7/8).
Kepercayaan diri bahwa merger bisa bikin penyaluran kredit lebih deras datang dari Bank Bukopin. Ditanya soal strategi bisnis ke depan pascakehadiran KB Kookmin Bank, Direktur Bank Bukopin Rivan Purwanto menyatakan, kredit di segmen ritel dan konsumer tetap menjadi prioritas perseroan.
“Kami tetap fokus di ritail dan konsumer. Ritail dengan membidik segmen unggulan sesuai kondisi di masing-masing daerah. Kalau bisnis konsumer ya KPR, KPM melalui Bukopin Finance, serta kredit pensiun,” ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id secara terpisah.
Sampai dengan medio tahun ini, BBKP merealisasikan penyaluran kredit senilai Rp66,8 triliun atau turun 8,36% (year on year). Tapi, perseroan tetap meraup pertumbuhan cuan sebelum pajak hingga 25% (yoy) menjadi Rp302 miliar. Ini berkat kenaikan pendapatan komisi dan bunga bersih disertai turunnya biaya operasional.
Rasa optimistis akan peningkatan kinerja bisnis juga dirasakan BTPN sejalan dengan aksi merger dengan SMBCI. Info saja nih ya, merujuk kepada neraca per 31 Mei 2018 maka bank hasil penggabungan diproyeksikan mengantongi aset Rp179 triliun. Artinya, BTPN bakal menjadi satu dari sepuluh bank dengan aset terbesar di Indonesia.
(Baca juga: BTPN - SMBCI Merger, Jumlah Bank Besar di Indonesia Bertambah)
Direktur Utama BTPN Jerry Eng menyatakan, publikasi resmi yang dirilis perusahaan menandai dimulainya proses penggabungan tersebut. “Penggabungan ini akan melahirkan bank baru yang lebih besar dan kuat, sehingga dapat lebih berperan memenuhi berbagai kebutuhan pembiayaan,” tulisnya.
Sampai dengan medio tahun ini, BTPN memiliki aset Rp99,9 triliun. Total kredit yang telah disalurkan perseroan mencapai Rp67,8 triliun dengan pendanaan senilai Rp80,3 triliun. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio / CAR) tercatat 24,1%, sedangkan laba bersih sejumlah Rp1,09 triliun.
Per akhir Mei 2018, SMBCI mengantongi aset sejumlah Rp85,2 triliun. Total kredit yang disalurkan mencapai Rp64,2 triliun. Adapun, profit bersih yang diraup sepanjang Januari - Mei 2018 tercatat Rp360,7 miliar.
Penggabungan BTPN dan SMBCI tentu ikut mengubah jajaran manajemen. Wakil Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana disebut-sebut akan menggantikan posisi Jerry Ng (direktur utama) yang masa jabatannya habis pada tahun depan.
Aksi konsolidasi, semisal penggabungan usaha, yang dilakukan perbankan ini mirip orang diet. Alih-alih ramping dijadikan motivasi utama, sebetulnya aspek ini hanya menjadi bonus. Tujuan utamanya ya supaya sehat.