Sri Mulyani: Lapor Saldo Rp 1 Miliar Tak Otomatis Jadi Objek Pajak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, kebijakan pemerintah yang mewajibkan lembaga keuangan menyetorkan data nasabah kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) bukan bertujuan untuk menjadikan tabungan nasabah sebagai objek pajak tambahan. Melainkan untuk melengkapi basis data perpajakan.
“Ini bukan berarti kalau mereka saldo dilaporkan otomatis adalah objek pajak. Karena kami kumpulkan data ini dalam rangka untuk perbaiki data basis pajak kami," kata dia saat konferensi pers di Direktorat Jenderal Pajak Pusat, Jakarta, Jumat (9/6).
Ia pun menyayangkan kekhawatiran yang muncul di masyarakat pasca pemerintah menerbitkan kebijakan tersebut. Menurut dia, masyarakat semestinya tidak perlu khawatir bila memang sudah membayar dan melaporkan pajaknya dengan benar.
Sebelumnya, untuk meredam keresahan masyarakat, termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Sri Mulyani pun menaikkan batasan minimal saldo rekening yang wajib disetorkan secara otomatis oleh lembaga jasa keuangan kepada Ditjen Pajak. Batasan saldonya naik dari semula Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. (Baca juga: Sri Mulyani Ubah Batas Dana Wajib Lapor Pajak Jadi Rp 1 Miliar)
"Kami fokus dan berikan perhatian kepada di atas Rp 1 miliar adalah memberikan azas keadilan,” kata dia. Adapun, mengacu pada data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terdapat 496.867 pemilik rekening dengan saldo bernilai lebih dari Rp 1 miliar. Jumlah itu mencapai 64,22 persen dari total pemilik rekening yang ada.
Ke depan, Ditjen Pajak akan memanfaatkan data tersebut untuk keperluan verifikasi data pajak, misalnya yang terkait dengan amnesti pajak. Mengacu pada data Ditjen Pajak, terdapat 291.331 peserta amnesti pajak yang menyatakan memiliki harta kas atau setara kas bernilai di atas Rp 1 miliar. Adapun nilai asetnya mencapai Rp 1.661 triliun.
Bila mengacu pada dua data tersebut, Sri Mulyani mengatakan ada dua kemungkinan yang terbaca. Pertama, ada wajib pajak yang memang sudah patuh membayar pajak sehingga tidak mengikuti amnesti pajak, misalnya pegawai yang pajaknya langsung dipotong dari gaji maka dikatakan sudah patuh. Kedua, ada wajib pajak yang mencoba menghindar dari kewajiban pajak.
"Jadi data itu dilaporkan, bukan karena kami ingin mencari pajaknya," tutur dia. "Kan kami sudah sampaikan waktu pembahasan amnesti pajak, kami mau memperbaiki kepatuhan pajak. Kami harap setelah amnesti pajak, mereka patuh isi Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak."
Menanggapi keluhan yang sempat muncul dari pelaku UMKM, ia pun mengatakan, UMKM tidak perlu khawatir dengan upaya Ditjen Pajak mengumpulkan penerimaan negara ini. Toh, selama ini pemerintah sudah menunjukkan itikad baik untuk mendorong pengembangan UMKM.
Itikad baik yang dimaksud yakni berupa kemudahan pajak sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan (PPh) yang mengenakan pajak final hanya satu persen bagi UMKM. Begitu juga, dalam penetapan tarif amnesti pajak untuk UMKM yang lebih rendah dibanding kategori lainnya. Maka dari itu, ia juga meminta UMKM juga meningkatkan kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajaknya.
"Jadi pemerintah terus akan jaga UMKM agar mereka tidak terbebani. Dan pemerintah lakukan program untuk (mengembangkan) UMKM. Ini penekanan dari sisi asas keadilan. Kami harap UMKM mulai juga menjaga ketertiban dalam melaporkan perpajakannya. Jangan lupa penerimaan pajak ini sebagian besar untuk membantu UMKM kembali, baik Kredit Usaha Rakyat (KUR), petani, nelayan, dan mahasiswa," ujar dia.
Ia pun kembali memaparkan soal kemungkinan ketidakpatuhan di UMKM. Ia menjelaskan, data LPS menunjukkan ada 1,8 juta pemilik rekening dengan akun senilai Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Namun, berdasarkan data amnesti pajak, hanya terdapat 232.874 peserta amnesti pajak yang melaporkan memiliki harta kas dan setara kas senilai Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Adapun, nilai asetnya mencapai Rp 69 triliun.
Adapun, peserta amnesti pajak dari kalangan UMKM yang melaporkan harta kas dan setara kas senilai Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar sebanyak 77.836 dengan nilai aset Rp 33 triliun. Sedangkan yang memiliki harta di atas Rp 1 miliar sebanyak 98.869 dengan nilai aset Rp 347 triliun.
Sri Mulyani pun kembali menjelaskan, kebijakan pemerintah soal keterbukaan data nasabah adalah dalam rangka melaksanakan kerja sama internasional: pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak. Data yang dipertukarkan di antaranya data keuangan nasabah.
Untuk melaksanakan kerja sama tersebut, negara lainnya juga menerapkan keterbukaan data nasabah sebagaimana di Indonesia. Bahkan, negara lainnya tidak menerapkan batasan untuk saldo yang bisa diintip. Ini artinya, seluruh rekening wajib pajak boleh dibuka untuk kepentingan perpajakan. (Baca juga: Ditjen Pajak Usul Penjara 5 Tahun Bagi Pembocor Data Wajib Pajak)
Ia pun meyakinkan bahwa pemerintah akan menjamin kerahasiaan data nasabah yang diperoleh Ditjen Pajak. "Kalau ada masyarakat 'Bu petugas pajak ancam saya, menekan, atau gunakan informasi pajak untuk tujuan lain,' Kami sediakan layanan pengaduan, kami akan selalu siap sedia menjawab. Kami juga ada whistle blower system https://www.wise.kemenkeu.go.id/,” kata dia.
Masyarakat yang merasa khawatir dengan kebijakan baru pemerintah juga bisa bertanya ke Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak.