Nilai Portofolio Investasi Temasek Menyusut Rp 233 Triliun
Kinerja Temasek terpukul oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan kejatuhan harga komoditas. Per akhir Maret lalu, nilai portofolio yang dikempit perusahaan investasi milik pemerintah Singapura ini menyusut S$ 24 miliar atau sekitar Rp 233,13 triliun.
Dalam laporan kinerja perusahaan yang dirilis bulan Juli ini, nilai bersih portofolio investasi temasek per 31 Maret 2016 mencapai S$ 242 miliar atau sekitar Rp 2.350 triliun. "Ini (penurunan) sebagai akibat dari jatuhnya nilai pasar dari investasi kami yang terdaftar di bursa saham,” kata Chairman Temasek, Lim Boon Heng, dalam laporan kinerja Temasek, Senin (11/7).
Pangkal masalah penurunan nilai portofolio Temasek adalah pertumbuhan ekonomi global yang tahun lalu hanya mencapai 3,1 persen. Angka ini merupakan yang terendah sejak krisis keuangan 2008. Padahal, investsi Temasek tersebar di sejumlah negara termasuk di Indonesia.
Selain itu, penyebabnya adalah meningkatnya gejolak pasar modal dunia dan tekanan harga komoditas. Ditambah lagi oleh ketidakpastian kebijakan yang menghambat proses pertumbuhan.
Menyusutnya nilai investasi Temasek berdampak terhadap keuntungan yang diperoleh pemegang sahamnya. Tingkat pengembalian untuk pemegang saham atau total shareholder return (TSR) Temasek selama satu tahun tercatat minus 9,02 persen.
Padahal, untuk jangka panjang 10 tahun hingga 20 tahun, Temasek membidik TSR sebesar 6 persen. Pada tahun 1974, besarannya mencapai 15 persen. Nilai tambah kekayaan atau wealth added Temasek juga dilaporkan negatif, yaitu minus S$ 44,7 miliar (sekitar Rp 4.342 triliun).
Di sisi lain, Temasek mencatat pemasukan dividen dari portofolio tetap mencapai S$ 8 miliar atau sekitar Rp 67 triliun. Jumlahnya sebanyak 18 kali dari pengeluaran selama satu tahun hingga 31 Maret lalu. Temasek mengucurkan investasi senilai S$ 30 miliar (setara Rp 291 triliun) serta divestasi S$ 28 miliar atau Rp 271 triliun. (Baca: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Amerika Jadi 2,2 Persen)
Adapun nilai utang Temasek mencapai S$ 8 miliar atau setara Rp 67 triliun untuk jangka waktu hingga 10 tahun mendatang. Namun, Temasek mengklaim neraca keuangannya, termasuk investasi untuk jangka pendek sudah mencapai tiga kali dari nilai utang tersebut.
Lim menjelaskan, Temasek terus berupaya menyeimbangkan portofolionya untuk jangka panjang dengan adanya tren-tren di pasar berkembang. Salah satu tren yang dimaksud adalah pertumbuhan populasi masyarakat berpenghasilan menengah.
Meski optimistis, Temasek tetap waspada dengan kondisi perekonomian global dalam beberapa tahun ke depan. Perekonomian Amerika Serikat mulai pulih. Sementara itu, Cina diharapkan mampu meraih pertumbuhan yang berkelanjutan untuk jangka menengah. (Baca: IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global, Indonesia Tak Ikut Terseret)
“Di Singapura, struktur ekonomi yang terbuka tetap membuat kami riskan untuk melakukan peralihan dalam perekonomian global,” kata Lim. Temasek memprediksi Cina akan mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan, meski lambat. Sementara itu, harga-harga komoditas energi diperkirakan akan pulih. (Baca: Lembaga Keuangan Dunia Ramai-ramai Pangkas Pertumbuhan Ekonomi)