Nilai PMA dari Negara Suaka Pajak Mencapai Rp 120 Triliun
Kepemilikan perusahaan-perusahaan cangkang di negara suaka pajak (tax haven) tidak hanya identik sebagai wadah untuk menghimpun uang agar terhindar dari kejaran pajak. Perusahaan-perusahaan seperti itu juga menjalankan kegiatan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total investasi langsung asing (Foreign Direct Investment / FDI) di Indonesia sepanjang 2010-2015 mencapai US$ 146,68 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak US$ 9 miliar atau sekitar Rp 120 triliun berasal dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di negara tax haven. “Tidak sampai 10 persen (dari total FDI). Memang tidak besar,” kata Kepala BKPM Franky Sibarani seusai membuka acara dialog kemudahan usaha di BKPM, Jakarta, Senin (11/4).
Ia menjelaskan, ada delapan negara tax haven yang menjadi tempat asal PMA di Indonesia. Yaitu Barbados, British Virgin Islands (BVI), Luxemburg, Mauritius, Seychelles, Belize, Bermuda, dan Cayman Islands. “Paling besar asal BVI, kedua asal Mauritius,” katanya.
BKPM selama ini tidak mempersoalkan sumber dana milik para pemodal asing tersebut. Tugas BKPM adalah berupaya agar investasi yang masuk tersebut bisa terealisasi. “Jadi tidak bermasalah dengan sumber dananya, BKPM membuat bagaimana (pemodal) tertarik,” kata Franky.
(Baca: Pemerintah Tawari Nama di Panama Papers Ikut Repatriasi)
Seperti diketahui, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk “Panama Papers” secara serentak di seluruh dunia mulai Senin awal pekan ini. Data yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan selama 10 tahun ini tercatat hampir dari 2.000 perusahaan yang berstatus PMA tidak pernah membayar pajak. Mereka tidak melaksanakan kewajibannya dengan alasan masih menderita rugi.
(Baca: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers)
Padahal, berdasarkan hasil pemeriksaan Ditjen Pajak dengan melihat dari perhitungan komponen pajak, seharusnya perusahaan tersebut masih bisa mendapat untung. Rata-rata nilai pajak yang seharusnya dibayarkan oleh setiap perusahaan tersebut mencapai Rp 25 miliar setiap tahun. Artinya dalam 10 tahun negara kehilangan penerimaan hingga Rp 500 triliun. "Ini merupakan bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan,” ujar Bambang.
(Baca: 6.000 Orang Indonesia Simpan Uangnya di Satu Negara)
Terkait masalah tersebut, menurut Franky, upaya yang bisa dilakukan BKPM adalah mendorong seluruh kegiatan PMA membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebelum memulai kegiatan investasinya. Tujuannya agar tidak terjadi kehilangan penerimaan negara dari para pengusaha asing.
Apabila PMA tersebut menjadi wajib pajak (WP) maka dipastikan tidak dapat mangkir dari kewajiban membayar pajak. BKPM juga telah memasukkan fasilitas pemberian NPWP tersebut dalam proses perizinan tiga jam yang berlaku efektif sejak tahun ini. "Setelah masuk (membuat NPWP) langsung dipantau oleh Direktorat Jenderal Pajak," ujar Franky.
Adapun pengawasan pajak ini murni merupakan kewenangan Ditjen Pajak. BKPM hanya menjadi instansi tempat mengurus izin namun tidak dapat memantau pajak yang dibayarkan oleh perusahaan PMA tersebut.
Di sisi lain, BKPM akan menunggu laporan lebih detail dari Ditjen mengenai PMA yang tidak membayar pajak selama bertahun-tahun. "Karena kami sifatnya mengundang investor yang akan berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja," katanya.