Perbankan Beralih ke Digital, DBS Ramal Kantor Cabang Bakal Hilang
Bank DBS Indonesia memprediksi pandemi virus corona atau Covid-19 mengakselerasi digitalisasi semua sektor bisnis, termasuk perbankan. Imbasnya, keberadaan kantor cabang tak lagi diperlukan dalam beberapa tahun ke depan.
Direktur Consumer Banking DBS Bank Indonesia Rudy Tandjung mengatakan, perbankan harus memahami perubahan ekspektasi nasabah. Bahwa kini, nasabah ingin mendapatkan layanan perbankan yang mudah, cepat dan bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun
“Banking masih diperlukan, tapi beralih ke branchless untuk semua layanan, mulai dari buka rekening, operasional hingga report , semua menggunakan digital,” kata Rudy dalam seminar daring bertajuk "New Normal, New Business Model, New Hope", Selasa (23/6).
Dampak adaptasi perbankan ke layanan digital adalah, pengurangan kantor cabang hingga keberadaannya sama sekali tidak ada. Fokus bank ke depan bukan lagi memperbanyak cabang, melainkan menciptakan aplikasi dan layanan digital yang mampu memudahkan nasabah.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan pola bisnis, dari sebelumnya masyarakat mengikuti perbankan, menjadi bank yang menyesuaikan. Meski perubahannya tidak akan terjadi dalam waktu dekat, namun ia yakin keberadaan kantor cabang sepenuhnya akan hilang.
Pergeseran pola bisnis ke digital ini juga terjadi di tubuh DBS Indonesia selama pandemi corona, di mana 80% karyawan bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Ia menjelaskan, ternyata hanya dengan 20% karyawan masuk kantor, bisnis bank tetap jalan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara mengatakan, era awal layanan keuangan digital sudah terlihat selama pandemi corona. Terbukti dari transaksi uang elektronik yang terus meningkat, meski transaksi di sektor ril menurun drastis.
(Baca: Digitalisasi Kian Gencar, Bank Mandiri Jamin Tak akan PHK Karyawan)
Artinya, telah terjadi perubahan perilaku masyarakat, yang tadinya bertransaksi secara tunai, kini berpindah menggunakan transaksasi elektronik maupun transaksi digital lainnya.
Untuk pergeseran perilaku ini, ia mencontohkan perubahan yang terjadi pada Bank Mandiri. Pada 2016, nilai transaksi digital Bank Mandiri masih Rp 55 triliun, namun kini menjadi Rp 245 triliun per kuartal.
"Ini artinya masyarakat semakin konsisten menggunakan digital. Sehingga, boleh dibilang masa depan keuangan adalah digital, dan saya yakin shifting ke arah digital payment akan terus berakselarasi," kata Mirza.
Atas dasar itu, Mirza berpendapat pemerintah dan regulator jasa keuangan perlu fleksibel terhadap era digital payment. Perlu ada pelonggaran untuk mendorong transaksi digital, seperti batas maksimal dompet digital, yang tadinya Rp 10 juta mungkin bisa ditingkatkan menjadi Rp 50 juta.
Hal ini, ia katakan, dilakukan dengan mempertimbangkan digitalisasi keuangan yang semakin cepat. Selain itu, pemerintah juga harus fleksibel mengatur infrastruktur penunjang transaksi digital, seperti cloud.
“Butuh fleksibilitas dari regulator untuk mengatur apakah cloud untuk jasa keuangan boleh dari luar negeri atau tidak," ujarnya.
(Baca: Bank Ramai Beralih ke Digital, BCA Ramal Dua Pekerjaan Hilang)