Laba Semester I BCA Turun Akibat Pencadangan Kredit Seret Bengkak 167%
Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencatatkan penurunan laba bersih pada semester pertama 2020 ini sebesar 4,8% menjadi Rp 12,24 triliun jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu (year on year/yoy) sebesar Rp 12,86 triliun.
Salah satu penyebab tergerusnya laba bersih BCA adalah kenaikan nilai pencadangan penurunan nilai aset, dimana pada semester pertama 2020 sebesar Rp 6,54 triliun. Nilainya melonjak drastis 167,3% secara yoy dibandingkan Rp 2,44 triliun tahun lalu.
"Penurunan laba bersih yang tajam sekali, terutama memang dari CKPN (cadangan kerugian penurunan nilai) yang memang kami bentuk," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers secara virtual, Senin (27/7).
Pencadangan besar dilakukan pada periode triwulan II-2020 karena angkanya mencapai Rp 4,36 triliun. Angka tersebut, naik hingga 100% dibandingkan dengan pencadangan yang dilakukan oleh BCA pada triwulan I-2020 yang senilai Rp 2,17 triliun.
Jahja mengatakan bahwa kenaikan pencadangan oleh BCA dilakukan sejalan dengan peningkatan risiko turunnya kualitas kredit. Salah satu yang terlihat adalah pada rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) pada Juni 2020 sebesar 2,1%, naik dibandingkan Juni 2019 yang sebesar 1,4%.
Dia mengakui bila pandemi Covid-19 berdampak pada perlambatan berbagai aktivitas bisnis di beragam industri, sehingga mengakibatkan lebih rendahnya permintaan kredit khususnya pada Maret hingga Juni 2020.
Meski begitu, BCA masih mampu mencatatkan penyaluran kredit menjadi Rp 595,13 triliun hingga Juni 2020, tumbuh sebesar 5,3% secara yoy dari Rp 565,23 triliun.
Pertumbuhan kredit ditopang oleh segmen korporasi yang sebesar Rp 257,9 triliun, meningkat 17,7% dibandingkan periode sama sebelumnya. Sementara kredit komersial dan UKM, tercatat turun 0,9% secara tahunan menjadi Rp 184,6 triliun.
Total portofolio kredit konsumer turun 5,1% secara yoy menjadi Rp 146,9 triliun, dimana kredit pemilikan rumah (KPR) tumbuh flat 0,3% secara tahunan menjadi Rp 91,0 triliun.
Penurunan juga terjadi pada kredit kendaraan bermotor (KKB) sebesar 11,9% secara yoy menjadi Rp 42,5 triliun. Begitu pula dengan saldo outstanding kartu kredit turun 18,6% secara yoy menjadi Rp 10,6 triliun akibat penurunan konsumsi domestik.
Jahja mengatakan, salah satu segmen kredit yang drop adalah KKB karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat sehingga ekonomi lesu. Biasanya, dalam satu bulan ada Rp 2,5-3 triliun kredit baru. "Tapi kemarin betul-betul drop sampai titik nadir yang paling bawah, sekitar Rp 200-300 miliar per bulan," katanya.
Dari sisi dana pihak ketiga (DPK), BCA mencatat pertumbuhan pada semester pertama 2020 sebesar 13% secara tahunan menjadi Rp 761,6 triliun. Dana giro dan tabungan (CASA) tumbuh hingga 12,8% secara tahunan mencapai Rp 575,9 triliun dan berkontribusi sebesar 75,6% dari total dana pihak ketiga pada Juni 2020.
Jumlah rekening tumbuh 11,9% secara tahunan mencapai 22,5 juta rekening hingga Juni 2020 didukung oleh layanan pembukaan rekening online. Sementara itu, deposito berjangka mampu tumbuh 13,6% secara yoy mencapai Rp185,6 triliun.
Dengan pertumbuhan DPK tersebut, posisi likuiditas BCA pada semester pertama melonggar. Pasalnya, terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan alias loan to deposit ratio (LDR) sebesar 73,3% pada semester I-2020, sedangkan periode yang sama tahun lalu sebesar 79%.
"Likuiditas berada pada tingkat yang sehat untuk mengantisipasi berbagai kebutuhan yang tidak terduga, khususnya selama masa pandemi," kata Jahja.
Di tengah berbagai tantangan yang sedang dihadapi, BCA tetap mampu menjaga permodalan bank pada posisi yang solid dengan rasio kecukupan modal (CAR) berada pada level 22,9%, jauh diatas rasio yang ditetapkan oleh regulator.
BCA juga membukukan rasio pengembalian terhadap aset (ROA) 3,1% dan pengembalian terhadap ekuitas (return on equity/ROE) 15,6% pada semester pertama 2020.