Akrobat Bank Kecil Mengejar Tenggat Kewajiban Modal Rp 1 Triliun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap memberlakukan kewajiban bank menyetorkan modal minimum Rp 3 triliun di tengah pandemi Covid-19. Pemenuhannya secara bertahap yakni pada akhir tahun minimal modal inti bank Rp 1 triliun alias bank harus sudah masuk ke kelas Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II.
Aturan ini berlaku sejak 17 Maret 2020 melalui Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Industri perbankan diberi waktu hingga 31 Desember 2022 untuk mematuhi aturan modal minimum Rp 3 triliun.
"Ketentuan tersebut masih akan tetap diberlakukan. Upaya ini untuk penguatan kelembagaan perbankan," kata Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Katadata.co.id, Selasa (13/10).
Aturan ini diharapkan membuat perbankan dapat bersaing dengan industri jasa keuangan lainnya. Terutama, di tengah maraknya digitalisasi yang menuntut investasi dalam bidang informasi dan teknologi.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menyatakan bank-bank yang hingga kini belum memenuhi syarat minimal tersebut sudah memiliki rencana penambahan modal.
"Sampai dengan saat ini, bank telah menyampaikan rencananya dan itu terus dimonitor oleh pengawas. Semua bank sudah kirim Rencana Bisnis Bank (RBB)," kata Anto kepada Katadata.co.id, Rabu (14/10).
Meski begitu, OJK belum menjelaskan langkah yang akan ditempuh bila ada bank yang tidak memenuhi persyaratan minimal modal inti Rp 1 triliun di akhir tahun ini.
Kepala Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai aturan tersebut merupakan bagian dari "paksaan" perbankan untuk menambah modalnya. Jika bank tidak memenuhi ketentuan tersebut, bank umum bisa menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
"Ketentuan itu sudah memaksa. Tapi OJK tahu juga, untuk memenuhi Rp 1 triliun tidak mudah," kata Piter kepada Katadata.co.id, Rabu (14/10).
Ia mengatakan, untuk bisa memenuhi modal inti minimal, OJK membebaskan berbagai caranya seperti melalui merger, akuisisi, ataupun melalui penerbitan saham baru. "Pilihan alternatif tidak dipaksakan. Tapi dipaksa untuk bisa memenuhi modal," kata Piter menambahkan.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai, sudah tidak ada masalah dengan bank BUKU I yang memiliki modal di bawah Rp 1 triliun untuk bisa naik kelas saat ini karena berbagai upaya dilakukan. Selain itu, peningkatan modal ini memang penting dilakukan oleh industri perbankan nasional.
Dia menilai krisis-krisis kecil pada ekonomi akan lebih sering terjadi di masa depan, sehingga bank yang sebelumnya memiliki daya tahan rendah, tidak kerepotan lagi dengan peningkatan modal. "Dengan sistem permodalan yang kuat, itu bisa menghindari dampak sistemik pada ekonomi," kata Aviliani dihubungi hari ini.
Meski sisa waktu pemenuhan modal inti bank Rp 1 triliun tinggal beberapa bulan lagi, beberapa bank masih berjuang untuk memenuhi persuaratan modal inti. Seperti PT Bank Fama International yang per Maret 2020 setidaknya modal inti bank Rp 265,12 miliar.
Lalu, PT Bank Pembangunan Daerah Bengkulu modal intinya per Juni 2020 juga masih di bawah Rp 1 triliun, tepatnya Rp 822,47 miliar. Begitu juga PT Bank Pembangunan Daerah Lampung modal intinya tercatat senilai Rp 867,31 miliar per Juni 2020.
Modal inti PT Prima Master Bank juga masih di bawah ketentuan OJK karena per Juni 2020 hanya senilai Rp 286,09 miliar. Begitu juga PT Bank Pembangunan Daerah Sulteng yang per Juni 2020 modal intinya senilai Rp 966,58 miliar. PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI) juga, setidaknya hingga Juni 2020, modal intinya hanya Rp 272,03 miliar.
Beberapa bank pun melakukan berbagai upaya penambahan modal seperti PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) yang per Juni 2020, modal intinya senilai Rp 508,53 miliar berdasarkan laporan keuangan yang dirilis melalui websitenya.
Namun, modal inti Bank Bisnis per September 2020 sudah mengalami peningkatan menjadi Rp 705 miliar dari dana yang didapat saat mengeluarkan saham baru kepada publik alias initial public offering (IPO).
Seperti diketahui, Bank Bisnis melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 7 September 2020 lalu. Saat itu, Bank Bisnis berhasil mengumpulkan Rp 189,48 miliar. Hasil dari penawaran 394,76 juta unit saham atau setara 15% dari total saham perseroan di harga Rp 480 per sahamnya.
Sekretaris Perusahaan Bank Bisnis Paulus Tanujaya mengakui meski sudah meningkat, namun modal inti perusahaan masih belum memenuhi ketentuan OJK. Untuk itu, Bank Bisnis berencana menambah modal dengan skema rights issue.
"Pada 2 November nanti kami akan adakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk persetujuan penambahan modal tersebut," kata Paulus kepada Katadata.co.id, Rabu (14/10).
Seperti diketahui, Bank Bisnis berencana menambah modal sebanyak-banyaknya 438,62 juta unit saham atau setara 16,67% dari modal disetor. Meski begitu, Paulus belum mau menjabarkan lebih detail terkait dengan harga pelaksanaan rights issue tersebut dan komitmen dari pemegang saham untuk mengambil haknya.
Bank lain yang belum memenuhi modal inti Rp 1 triliun setidaknya sampai Juni 2020 adalah PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS), hanya Rp 63,1 miliar saja. Meski begitu, Bank Banten berencana untuk melakukan penambahan modal melalui skema Penambahan Modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD) alias rights issue.
Dalam prospektus dijelaskan, Pemerintah Provinsi Banten melalui PT Banten Global Development berencana menyuntikan modal dengan anggaran sebesar Rp 1,55 triliun. Jumlah saham baru yang akan diterbitkan sebanyak-banyaknya 60,82 miliar saham Seri C dengan nilai nominal Rp 50 (lima puluh Rupiah) per saham.
Jumlah saham baru itu akan ditawarkan melalui PMTHMETD atau 90,46% dari jumlah saham yang ditempatkan dan disetor penuh. Namun, harga pelaksanaan akan ditetapkan dan diumumkan kemudian di dalam prospektus tersendiri.
Empat Bank Sudah Naik Kelas
PT Bank Royal Indonesia yang baru diakuisisi oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sudah melangkah menjadi bank BUKU II sejak 30 Januari 2020. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, per Juni 2020, modal inti Bank Royal mampu mencapai Rp 1,34 triliun.
Naik kelasnya Bank Royal itu, setelah mendapatkan suntikan modal dari induk barunya senilai Rp 1 triliun dari penerbitan 10 juta unit saham yang seluruhnya diambil BCA. Alasan suntikan modal ini sesuai dengan rencana bisnis, dimana Bank Royal akan fokus pada layanan perbankan digital.
"Secara ketentuan, Bank Royal memerlukan tambahan modal agar total permodalan menjadi di atas Rp 1 triliun dan menjadikan Bank Royal sebagai bank BUKU 2 yang dapat menyediakan layanan elektronik," kata Sekretaris Perusahaan BCA Raymon Yonarto dalam keterbukaan informasi 3 Februari 2020 lalu.
Bank lain yang berhasil naik kelas menjadi BUKU II adalah PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), di mana pada akhir tahun lalu modal intinya masih Rp 281,19 miliar. Namun, per Maret 2020 sudah naik kelas karena modal intinya senilai Rp 1,01 triliun. Bahkan per Juni 2020 modal intinya Rp 1,41 triliun.
Pemegang saham eksisting BKE yaitu PT Danadipa Artha Indonesia menyuntikan modal kepada bank melalui skema private placement pada 7 Februari lalu. Danadipa yang sebelumnya memiliki saham BKE sebanyak 21%, naik menjadi 92,62% setelah private placement dan terus bertambah hingga saat ini menjadi 94,95%.
Selanjutnya, bank yang sudah mengamankan modal inti di atas Rp 1 triliun adalah PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang sebelumnya bernama PT Bank Artos Tbk. Tercatat, modal inti Bank Jago per Juni 2020 mencapai Rp 1,26 triliun, padahal per Maret 2020 modal intinya hanya Rp 642,87 miliar.
Naik kelasnya Bank Jago ini karena melaksanakan right issue pada 2-8 April 2020 dengan menerbitkan sebanyak 9,65 miliar saham baru seharga Rp 139 per lembar saham. Lewat aksi ini, Bank Jago memperoleh dana segar sebesar Rp 1,34 triliun. Setelah aksi korporasi ini Bank Jago fokus menjadi bank digital.
PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB) yang pada 11 September 2020 resmi berganti nama menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk ini per Juni 2020 masih ada di kelas BUKU I karena modal inti senilai Rp 936,42 miliar. Namun, per 18 September 2020, Bank Neo remi naik kelas karena modal intinya menjadi Rp 1 triliun.
Kenaikan modal inti ini setelah perusahaan merealisasikan Penawaran Umum Terbatas (PUT) III melalui skema rights issue Juli 2020. Melalui skema penambahan modal tersebut, Bank Neo berhasil mengantongi dana segar Rp 150 miliar, dimana PT Akulaku Silvrr Indonesia mengambil sebagian haknya sehingga kepemilikannya menjadi 24,98%.