Risiko Banjir Likuiditas yang Tidak Merata di Perbankan
Likuiditas perbankan kian melonggar di tengah pandemi Covid-19. Di satu sisi, dana simpanan masyarakat terus meningkat namun penyaluran kredit lesu. Di sisi lain, tak semua bank merasakan limpahan likuiditas.
Berdasarkan data uang beredar yang dirilis BI pada Selasa (27/10), dana pihak ketiga perbankan pada September 2020 tumbuh 12,1% mencapai Rp 6.383,8 triliun, sedangkan kredit turun 0,4% menjadi Rp 5.520,9 triliun. Rasio kredit terhadap simpanan atau LDR pun melonggar menjadi 86%.
Kenaikan simpanan terutama terjadi pada giro mencapai 22,9% menjadi Rp 1.603,9 triliun. Disusul tabungan yang tumbuh 11,4% menjadi Rp 2.071,6 triliun dan simpanan berjangka yang tumbuh 7% menjadi Rp 2.708,9 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan kondisi likuiditas yang melonggar di perbankan juga ditunjukkan oleh rasio alat likuid per non-core deposit hingga 14 Oktober yang mencapai 163%, naik dibandingkan posisi akhir Juni sebesar 122%. Ini jauh diatas ambang batas rasio AL/NCD menurut ketentuan OJK sebesar 90%.
"Alat likuid per DPK mencapai 32,88%, lebih tinggi dibandingkan kuartal II sebesar 26,24% dan jauh di atas thresshold minimum," ujar Wimboh dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan melalui streaming video, Selasa (27/10).
Catatan OJK hingga Agustus, kenaikan DPK didominasi oleh bank pada kelompok BUKU IV atau memiliki modal di atas Rp 30 triliun dengan pertumbuhan mencapai 15,26%. "Banyak dana yang disimpan terutama oleh pemerintah di bank BUKU IV," ujar Wimboh.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, kelompok BUKU I justru mencatatkan penurunan DPK dari Rp 47,2 triliun menjadi Rp 33,65 triliun. Kepemilikan surat berharga bank BUKU I turun dari Rp 3,46 triliun menjadi Rp 1,93 triliun. Namun, jumlah bank dalam kelompok BUKU ini sebenarnya juga berkurang dari 14 bank menjadi 10 bank, seriring aksi merger, akuisisi, atau penambahan modal.
Meski DPK turun, rasio LDR kelompok BUKU I tercatat paling rendah sebesar 81,14%. Posisi ini disusul oleh kelompok BUKU IV sebesar 81,34% dan BUKU II sebesar 82,77%.
Pada kelompok BUKU II, pertumbuhan DPK tercatat sebesar 9,68% menjadi Rp 668,45 triliun. Namun, kepemilikan surat berharga turun dari Rp 102,83 triliun menjadi Rp 93,73 triliun. Adapun jumlah bank pada kelompok BUKU ini sebenarnya bertambah dari 52 bank menjadi 54 bank.
Sementara itu, kelompok BUKU III mencatatkan penurunan DPK dari Rp 1698,1 triliun menjadi Rp 1.682,15 triliun. Sebaliknya, surat berharga negara yang digenggam meningkat dari Rp 316,23 triliun menjadi Rp 336,8 triliun. Rasio LDR bank kelompok buku II yang terdiri dari 25 bank tercatat paling tinggi mencapai 95,64%.
Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi menilai distribusi likuiditas rupiah dan valas selama ini memang tidak merata dan terkonsentrasi, terutama pada bank BUKU IV. Penempatan dana pemerintah untuk Program Pemilihan Ekonomi Nasional juga dilakukan pada bank kelompok BUKU III dan IV.
"Sementara simpanan perseorang dan korporasi secara alamiah memilih untik menempatkan dana di bank BUKU III dan IV yang dianggap lebih aman. Ini sebenarnya masalah lama," ujar Eric kepada Katadata.co.id, Jumat (27/10).
Eric menilai ada risiko dari distribusi likuiditas yang tidak merata ini. Namun, bank kecil saat ini dapat memperoleh likuiditas dari fasilitas pinjaman BI juga bunga pasar uang antar bank dinilai mahal.
"Memang sekarang ini injeksi likuiditas banyak masuk ke bank-bank besar, tetapi saya lihat BI dan LPS sudah mengantisipasi risiko ini," kata Eric.
Amunisi BI-OJK-LPS
Risiko likuiditas telah menjadi perhatian pemerintah dan regulator dalam menyusun kebijakan sejak Pandemi Covid-19 menghantam sektor riil. Pemerintah antara lain telah menerbitkan aturan terkait penetapan bank jangkar atau penyangga likuiditas. Melalui skema ini, pemerintah akan menempatkan dana kepada bank penyangga likuiditas agar dapat pula membantu bank-bank kecil yang mengalami kesulitan likuiditas akibat progam restrukturisasi kredit.
Namun penempatan dana menggunakan skema ini tak berjalan. Pemerintah tetap memutuskan untuk menempatkan dana di bank-bank BUMN, BPD, dan Bank Syariah tetapi dengan skema bank mitra. Penempatan dana dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit pada bank-bank tersebut, terutama untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Wimboh menjelaskan, pemerintah saat ini telah menempatkan dana sebesar Rp 47,5 triliun pada bank-bank BUMN. Penempatan dana ini telah mendorong penyaluran kredit mencapai Rp 166,39 triliun. Sementara BPD menerima penempatan dana sebesar Rp 14 triliun mendorong penyaluran kredit 17,39 triliun. "OJK akan terus mendorong penyaluran kredit dan mendukung penempatan dana pemerintah di beberapa bank," kata dia.
Di sisi lain, BI dan OJK pada pekan lalu telah meneken Keputusan Bersama tentang kerja sama dan koordinasi dalam rangka pemberian Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek dan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah. Kerja sama diteken untuk memperkuat kerangka koordinasi dalam proses pemberian PLJP/S kepada perbankan di tengah pandemi Covid-19.
Ruang lingkup koordinasi dan kerja sama terkait PLJP dan PLJPS yang dituangkan dalam Keputusan Bersama BI – OJK tersebut mencakup sinergi kedua lembaga pada saat pra-permohonan, penilaian terhadap pemenuhan persyaratan, penyampaian informasi persetujuan permohonan, pengawasan terhadap bank penerima, dan pelunasan serta eksekusi agunan. Selanjutnya, pedoman pelaksanaan Keputusan Bersama ini akan diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja Sama antara Anggota Dewan Gubernur BI dan Anggota Dewan Komisioner OJK.
Gubernur BI Perry Warjiyo pada pekan lalu menyatakan belum ada bank yang mengajukan pinjaman PLJP. Kondisi industri perbankan, menurut Perry, dalam kondisi sehat.
Selain menyempurnakan aturan PLJP, amunisi penyelamatan bank sakit juga ditambah melalui Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan. Kewenangan LPS telah diperluas melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintan Nomor 3 Tahun 2020. Salah satunya dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank yang belum berstatus gagal.
Dalam PP disebutkan bahwa penambahan kewenangan LPS dilakukan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan yang timbul akibat terjadinya pandemi Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi maupun gangguan stabilitas sistem keuangan yang mencakup penanganan permasalahan bank.
LPS antara lain dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank tersebut. Lembaga ini juga dapat mulai mempersiapkan penanganan bank sejak ditetapkan dalam pengawasan intesif. Untuk itu, OJK pun berkewajiban untuk memberikan pertukaran data dan/atau informasi kepada LPS, melakukan pemeriksaan bersama, dan kegiatan lain dalam rangka persiapan resolusi bank.
Jokowi melalui PP ini bahkan memberikan kewenangan LPS untuk melakukan penempatan dana pada bank yang mengalami masalah likuiditas dan terancam mengalami kegagalan. Dalam pasal 11 ayat 3 diatur total penempatan dana pada seluruh bank paling banyak 30% dari jumlah kekayaan bank. Penempatan dana pada satu bank paling banyak 2,5% dari total kekayaan LPS. Adapun periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudi Sadewa menjelaskan distribusi pada likuiditas perbankan saat ini sudah mulai membaik dibandingkan posisi April hingga Juli lalu. "Keadaan sudah membaik, dana sudah mulai kembal ke bank kecil. Likuiditas bUKU I sudha lebih baik dibandingkan kuartal dua, jadi dampak negarif Covid-19 sudah sangat berkurang," katanya.
Purbaya meyakini kondisi likuiditas perbankan di seluruh lini siap dalam menyalurkan kredit. Seiring pemulihan ekonomi pada kuartal IV, pertumbuhan kredit diperkirakan lebih baik.
Tekann di sektor keuangan, menurut Purbaya, juga belum dalam kategori membahayakan bagi perbankan. Sepanjang tahun ini, LPS telah menangani 6-7 penutupan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun, jumlah BPR yang ditutup itu tak berbeda jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Tekanan sistem keuangan memang meningkat tapi hingga kini belum ke level yang membahayakan atau tidak dapat dikendalikan," kata Purbaya.