Data BPJS Bobol Pakai Bitcoin, Indonesia Butuh Blockchain Forensic?
Co-founder Cryptowatch dan pengelola channel Duit Pintar Christopher Tahir menilai penggunaan Bitcoin untuk tindakan kriminal berimbang dengan uang tunai. Itu tidak akan menjadi masalah selama dana yang disetor melalui exchange, karena terdapat identitas pemilik akun.
Dana yang ditarik ke dompet digital itu bisa terlacak lewat blockchain forensic (investigasi forensik digital). “Karena lebih mudah dan bisa dibilang transaksinya tidak terbatas, banyak yang menggunakan Bitcoin untuk transaksi ilegal,” kata Chris kepada Katadata.co.id, Jumat (21/5).
Meskipun begitu, Chris mengungkapkan pelacakan transaksi ilegal bisa dilakukan. Sayangnya, untuk melakukan hal tersebut membutuhkan blockchain forensic yang mumpuni, dan sepengetahuan dia belum ada di Indonesia.
Menurutnya, masih ada waktu bagi Indonesia untuk membina generasi yang lebih mudah agar mempelajari investigasi forensik digital. Kerja dari forensik tersebut mirip dengan layanan badan intelijen dan keamanan di Amerika Serikat (FBI).
“Saat ini, Bitcoin dan koin kripto lainnya masih digunakan sebagai komoditas berdagang saja, bukan sebagai alat pembayaran. Menurut saya, penggunaan Bitcoin akan legal,” ujarnya.
Sebelumnya, pengguna Twitter dengan nama akun @ndagels mencuit konten yang menampilkan cuplikan situs jual beli data. "Data 279 juta penduduk Indonesia bocor dan dijual. Bahkan ada data orang yang sudah meninggal," katanya, Kamis (20/5).
Dalam cuitan selanjutnya, ia menyatakan bahwa kumpulan data BPJS Kesehatan yang bocor itu dijual dengan 0,15 bitcoin atau sekitar US$ 6 ribu (Rp 86,4 juta).
Unggahan itu menampilkan akun bernama kotz yang mengklaim dirinya memiliki data 279 juta peserta BPJS Kesehatan. Data itu meliputi nama peserta, KTP, gaji, nomor ponsel, email, serta alamat.
Dia menjual data-data itu di forum peretas, darkweb. Namun satu juta data diberikan gratis tanpa kata sandi, sebagai contoh. "Ada juga 20 juta data yang memiliki foto pribadi," kata akun itu dikutip dari forum.
Sementara itu, pejabat keuangan dunia seperti Janet Yellen dan Christine Lagarde memandang ekosistem uang kripto sebagai alat bagi para penjahat keuangan untuk melakukan pencucian uang. Namun, pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh pelaku industri uang kripto dan perusahaan forensik blockchain. Mereka mengklaim bahwa kejahatan kripto di bawah 0,5% dari total transaksi di pasar uang kripto, sebagaimana dikutip dari Reuters, 29 Maret 2021.
“Pada 2020, bagian terlarang dari semua aktivitas mata uang kripto turun menjadi 0,34%. Itu kurang dari 0,5%,” menurut laporan perusahaan forensik blockchain Chainalysis dan CipherTrace. Kedua perusahaan tersebut juga mengklaim memiliki beberapa kumpulan data terbesar tentang kejahatan kripto dan metadata blockchain di dunia.
Meskipun sumber angka 0,34% masih dipertanyakan, pelaku pasar memandang laporan kejahatan kripto tersebut memberikan wawasan berguna mengenai aktivitas perusahaan forensik blockchain dalam setahun terakhir. Intinya, angka-angka tersebut harus dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Dari perspektif kriminologi, transaksi 0,34% bukanlah jumlah total kejahatan yang terjadi di pasar uang kripto dunia. Namun, itu memberikan referensi yang berguna untuk membantu mengidentifikasi aktivitas illegal yang melibatkan mata uang kripto.
Untuk itu, pelaku pasar jelas membutuhkan sarana yang lebih baik untuk mengukur aktivitas kriminal yang terkait dengan pasar uang kripto yang lebih luas. Perhatiannya bukan pada aktivitas ilegar yang sudah teridentifikasi, melainkan kejahatan yang disamarkan sebagai perdagangan yang sah.