Iuran BPJS Kesehatan Kelas Standar Bepotensi di Bawah Rp 100 Ribu
Pemerintah belum menetapkan iuran kelas standar bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan yang akan mulai berlaku tahun depan. BPJS Watch memperkirakan besaran iuran BPJS Kesehatan kelas tersebut kemungkinan berada pada rentang Rp 40 ribu hingga Rp 100 ribu.
Koordinator bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, besaran iuran kelas standar kemungkinan akan berada di bawah iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2, tetapi di atas iuran peserta kelas 3. Besaran iuran peserta BPJS Kesehatan kelas 1 saat ini ditetapkan Rp 150 ribu, kelas 2 Rp 100 ribu, dan kelas 3 Rp 35 ribu.
"Saya pikir ini kemungkinan berada di bawah Rp 100.000 dan di atas Rp 40.000," ujar Timboel kepada Katadata.co.id, Selasa (28/9).
Meski demikian, ia mengingatkan pemerintah ada potensi tunggakan yang timbul dari rencana penyederhanaan kelas peserta ini. Hal ini terutama akan terjadi pada peserta mandiri BPJS Kesehatan kelas 3 yang kemungkinan membayar lebih mahal jika kelas standar berlaku.
"Kalau kelas 3 yang relatif tidak mampu ini dipaksa membayar lebih mahal, misalnya Rp 70 ribu atau Rp 75 ribu, kemungkinan mereka akan menunggak," kata Timboel kepada Katadata.co.id, Selasa (28/9).
Hal ini, menurut dia, akan kian menjadi persoalan di tengah rencana Menteri Sosial Tri Rismaharini menghapus 9 juta daftar Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN). Daftar nama yang akan dihapus Risma ini berpeluang mendaftar sebagai peserta mandiri kelas 3.
"Mereka akan menjadi peserta mandiri dan mendapatkan perubahan skema layanan satu tarif. Ini akan membuat banyak masyarakat kesulitan membayar," kata Timboel.
Kondisi ini berpotensi membuat BPJS Kesehatan semakin sulit mencapai target universal health coverage (UHC) yakni membuat 95% penduduk Indonesia menjadi peserta JKN. Padahal, target ini seharusnya dicapai pada 2019.
Hingga akhir tahun lalu, jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 222,5 juta orang. Angka itu setara dengan 81,3% populasi di Indonesia.
Timboel pun mengusulkan agar pemerintah membuat kelas standar PBI untuk peserta mandiri yang akan mencakup peserta mandiri kelas 3 non-PBI yang benar-benar kurang mampu. Dengan demikian, sebagian iuran akan disubsidi oleh pemerintah.
"Mereka membayar sendiri tetapi urannya sama seperti yang tarif kelas 3 saat ini, tidak sama dengan iuran yang akan ditetapkan kelas standar," kata Timboel.
Namun untuk menerapkan hal tersebut, menurut Timboel, pemerintah perlu memperbaiki sistem pendataan peserta mandiri kelas 3. Menurut dia, banyak saat ini peserta mandiri yang semula berada di kelas 1 dan 2 sengaja turun kelas saat pemerintah menaikkan tarif BPJS Kesehatan.
Selain dari sisi penetapan tarif, perubahan menjadi kelas standar berpotensi menghadapi persoalan, karena rumah sakit harus merubah fasilitasnya yang semula dibuat untuk tiga kelas menjadi satu kelas untuk pesert mandiri. Menurutnya akan banyak RS yang belum siap dengan sistem baru ini karena pada saat yang bersamaan mereka kini masih sibuk menangani pasien Covid-19.
Meski demikian, Timboel menilai, penetapan satu kelas layanan ini akan membawa beberapa manfaa, antara lain mempermudah administrasi JKN yang selama ini terpecah ke dalam beberapa kelas. Perubahan kelas layanan juga akan membawa manfaat bagi asuransi swasta yang dapat memfasilitasi peserta JKN yang ingin naik kelas.
Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru memulai kelas standar dan memberi waktu transisi bagi rumah sakit untuk menyiapkan fasilitas dengan kriteria yang baru. Menurutnya, implementasi kelas standar perlu dilakukan bertahap dan kemungkinan baru dapat berjalan penuh pada tahun 2025.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga memperkirakan besaran iuran pada kelas standar akan berada di atas tarif peserta mandiri kelas 3 saat ini. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah berhati-hati dalam memformulasikan besaran iuran. Pemerintah harus memperhatikan aspek daya beli dan kemampuan konsumen.
"Jangan sampai juga ketika nanti kita konsumen sudah membayar dengan tarif yang standar tapi di lapangan tidak menikmati layanan yang standar karena RS belum mampu untuk menerapkannya," ujar Tulus kepada Katadata.co.id.
Tulus mengutip data masih minim dari RS saat ini yang mampu memenuhi ketentuan baru dalam kelas standar. Menurut dia, hasil riset menunjukkan bahwa baru 3% dari RS pemerintah dan swasta yang siap dengan kelas standar, sedangkan RS TNI Polri belum siap sama sekali.