OJK Belum Mau Izinkan Lembaga Keuangan Masuk Metaverse
Pengembangan teknologi realitas virtual bersama atau metaverse saat ini diminati oleh beberapa sektor industri, termasuk sektor keuangan dan perbankan. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku masih belum menemukan konsep penerapan metaverse dalam sektor keuangan.
Kepala Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono menilai, metaverse juga masih terlalu berisiko untuk diterapkan dalam sektor keuangan. Sebab, teknologi tersebut belum memiliki kejelasan konsep.
Teknologi metaverse, katanya, merupakan sebuah kehidupan maya. "OJK belum ada bayangan untuk membuka lembaga keuangan di metaverse,” katanya pada kelas jurnalis OJK di Jakarta, Rabu (7/9).
Hal tersebut menjadi alasan OJK enggan mengizinkan metaverse untuk diimplementasikan untuk sektor keuangan. Lalu, regulasi serta keamanan juga menjadi hal yang penting jika ingin menerapkan teknologi ke ranah sektor keuangan seperti perbankan. Namun, dia menyampaikan metaverse dapat menjdi medium custumor service dan platform pemasaran.
"Umumnya layanan keuangan membutuhkan transaksi, pelaku, dan currency. Kalau tidak ada currency di metaverse ya tidak ada transaksi di sana,"katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Triyono menegaskan, inovasi keuangan digital perlu adanya pengaturan, khususnya aturan dalam perlindungan nasabah atau konsumen. Lalu, juga memfasilitasi pengembangan infrastruktur dan pentingnya penguatan pengawasan dan pembentukan regulasi. Poin-poin tersebut dinilai penting untuk mencegah disrupsi.
Sebelumnya, PT Bank KEB Hana Indonesia mengkaji kemungkinan pengembangan teknologi dunia virtual atau metaverse untuk sektor keuangan. Hal tersebut dilakukan setelah perseroan meluncurkan bank digital dan pinjaman online alias pinjol.
Perusahaan induk Bank KEB Hana Indonesia yang berbasis di Korea Selatan mencari bentuk yang paling tepat terkait metaverse. "Kalau sudah ada, baru kami masuk,"kata Consumer Banking Director Bank KEB Hana Indonesia Anton Hermawan, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/7).
Ia mengatakan, ada sejumlah bentuk use case metaverse yang bisa diterapkan di sektor perbankan. Namun, bagi perusahaan, teknologi metaverse mesti mengakomodasi semua kebutuhan nasabah dalam memenuhi gaya hidup.
"Metaverse bisa memberikan pengalaman yang tidak bisa nasabah lakukan di dunia nyata," katanya. Ia mencontohkan, saat nasabah ingin mendapatkan layanan Kredit Perumahan Rakyat (KPR), ada teknologi Virtual Reality (VR) atau Augmented Reality (AR) yang mampu menggambarkan rumah dengan jelas.
Adapun, dalam hal pengembangan metaverse, Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) lebih dulu masuk. Ketiga bank itu menggaet WIR Group dan menandatangani nota kesepahaman kerja sama pengembangan bisnis ke dalam ekosistem metaverse.
Direktur Bisnis Konsumer BRI Handayani mengungkapkan, perseroan mengutamakan kenyamanan dan keamanan nasabah lewat metaverse. Kantor cabang virtual di metaverse tidak hanya melayani kebutuhan perbankan nasabah. BRI akan dapat memberikan edukasi soal perbankan dan layanan digital lainnya yang bisa diakses kapan dan di mana saja.
Teknologi metaverse diramal menjadi tren masa depan. Pendiri Microsoft Bill Gates memperkirakan bahwa pertemuan kantor di dunia virtual atau metaverse akan menjadi tren pada 2023 – 2024.
Menurutnya, pandemi Covid-19 mendorong banyak orang beralih ke digital, termasuk merevolusi tempat kerja. Raksasa teknologi asal Cina, Baidu, memperkirakan bahwa adopsi metaverse butuh waktu enam tahun agar bisa hadir sepenuhnya secara global.