Upaya BTPN Syariah Merajut Bisnis Perempuan Prasejahtera di Bumi Riau
Berawal dari modal pinjaman Rp 3 juta, bisnis ultra mikro Yeni mampu mendulang omzet hingga dua digit dalam sepekan. Warga Ciptakarya, Kecamatan Tuah Madani, Pekanbaru tersebut, kini turut menggaet anggota keluarga lainnya dalam menjalankan bisnis pengolahan kulit menjadi bahan baku kerupuk.
Pada 2018, wanita kelahiran 38 tahun itu memberanikan diri mengajukan pinjaman ke Bank BTPN Syariah. Tak banyak alasan, jalur pembiayaan dengan syariat Islam tersebut dipilih lantaran tak membutuhkan agunan, serta prosesnya yang cepat.
Awal mengelola bisnis kecilnya, Yeni dan suami hanya mampu mengolah satu lembar kulit sapi menjadi 40 kg bahan baku kerupuk kulit. Seiring bertambahnya modal pembiayaan ultra mikro, kini Yeni mampu mengolah 4-5 lembar kulit per hari.
Perhitungannya, dalam sepekan dia mampu memproduksi 300 kg bahan baku kerupuk kulit, dengan harga jual Rp 75 ribu per kilo. Alhasil, dalam sepekan dia dan suami mampu mengantongi laba kotor sekitar Rp 22,5 juta.
Perjuangan Yeni tak sendiri, ada Siti Aisyah yang lebih dulu bergabung menjadi nasabah program pembiayaan produktif dari BTPN Syariah, khusus untuk perempuan penggerak bisnis ultra mikro. Bisnis gamis Siti terus berkembang seiring modal yang bertumbuh dari Rp 2 juta, menjadi Rp 20 juta. Pembiayaan tersebut mulai diperolehnya sejak lima tahun lalu, tanpa agunan.
"Saat ini berjualan baju gamis di rumah, kadang berjualan menggunakan mobil ke pasar dan pasar malam. Harapannya, ke depan bisa buka toko," kata Siti yang juga ketua Sentra Ciptakarya saat dikunjungi, Rabu (14/9).
Sentra lain di Pekanbaru, Peputrajaya ada Vivi Oktavianti yang mampu melalui masa sulit pandemi Covid-19 dengan “banting setir” menjadi produsen kerupuk sagu. Dalam sepekan dia mampu mengantongi laba kotor sekitar Rp 5 juta, dan biaya produksi Rp 1 juta.
Begitu juga warga pendatang Tanah Lancang Kuning, Damayanti yang berhasil mendulang cuan selama pandemi Covid-19. Dengan tambahan modal BTPN Syariah, wanita yang sempat kuliah Ilmu Pariwisata itu mampu memproduksi ribuan permintaan masker selama pandemi. Perempuan 37 tahun tersebut sudah menjadi nasabah BTPN Syariah sejak Desember 2018 hingga sekarang.
Corporate & Marketing Communication Head BTPN Syariah, Ainul Yaqin mengatakan ke depan pihaknya bakal membuka berbagai akses lainnya untuk nasabah, seperti akses barang, hingga pengembangan produk-produk. Tujuannya menjadikan nasabah perempuan naik kelas.
"Akan ada juga akses pasar, agar produk nasabah bisa dikurasi. Prinsipnya, benar-benar ingin menciptakan perempuan Indonesia menjadi berani usaha, disiplin, kerja keras dan saling bantu (BDKS)," kata Ainul dalam kunjungannya ke Pekanbaru, Rabu (14/9).
Jemput Bola
Untuk memenuhi kebutuhan nasabah khususnya perempuan unbankable, BTPN Syariah gencar bertransformasi dan beradaptasi. Salah satunya, melalui program pemberdayaan nasabah prasejahtera produktif kepada kelompok perempuan yang menjalankan bisnis ultra mikro di daerah. Adapun pagu pembiayaan yang ditawarkan mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 100 juta, dengan tenor disesuaikan kemampuan nasabah.
Sosok Neni menjadi salah satu bagian penting di balik proses “naik kelasnya” perempuan prasejahtera produktif di Pekanbaru. Bergabung menjadi bankir pemberdaya BTPN Syariah sejak 2013, dia memiliki tugas menjembatani nasabah prasejahtera produktif agar bisa mendapatkan pembiayaan ultra mikro.
Ibu empat orang anak itu sudah merasakan pahit manisnya menggandeng nasabah produktif, dari ditolak calon nasabah, dikejar orang mabuk, dimarahi, hingga ban motor pecah di tengah ladang sawit tak berpenghuni. “Dari semua itu, banyak juga yang kami dapat, seperti pelajaran hidup, bisnis dan usaha, hingga perasaan bahagia ketika nasabah sukses,” ujar Neni saat berbincang dengan Katadata.co.id.
Business Coach bankir pemberdaya BTPN Syariah area Riau, Fauzan Ridha mengatakan hingga Juni 2022, pembiayaan syariah yang berhasil disalurkan mencapai Rp 171,6 miliar kepada lebih dari 49 ribu perempuan. Hal itu didukung 188 community officer selaku bangkir pemberdaya.
Risiko Kredit Macet vs Kepercayaan
Financing Business Planning & Support Head BTPN Syariah, Dewi Nuzulianti mengatakan rasio gagal bayar (NPF) perusahaan, saat ini masih respectable. Hal itu dilihat dengan membandingkan rasio saat ini, dengan benchmark bank konvensional dan bank umum syariah atau BUS. "NPF kita lebih baik," katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (14/9).
Adapun untuk target NPF yang dipatok BTPN Syariah akhir tahun ini, masih akan kompetitif dibandingkan bank konvensional maupun BUS. Bahkan, beberapa strategi disiapkan untuk menjaga NPF tetap berada di kisaran saat ini.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan per Juni 2022, BTPN Syariah mencatat rasio kredit macet atau NPF gross di level 2,5%. Angka tersebut meningkat dibandingkan level NPF gross sebelum pandemi yang sempat di kisaran 1,7%. Adapun NPF untuk Riau masih di level aman, yakni 0,2%.
Untuk menjaga tingkat NPF, Dewi menjelaskan pihaknya tetap fokus melakukan pengelolaan pembiayaan bermasalah dengan baik, serta memperhatikan kondisi nasabah di segmen productive poor. Ainul mengatakan kalau mitigasi risiko dilakukan dengan kuat.
“Dibutuhkan juga kekuatan teman-teman di lapangan berinteraksi dan membuka diri terhadap nasabah. Menjalin relationship dengan nasabah menjadi upaya kami menjaga NPF," ujar Ainul kepada Katadata.co.id.
Di samping itu, bisnis pembiayaan BTPN Syariah masih positif berkat dana pihak ketiga yang tumbuh 12% menjadi Rp 11,8 triliun per Juni 2022, dibandingkan tahun lalu. Di mana, penyaluran pembiayaan ikut bertumbuh 11 % menjadi Rp 11,1 triliun, dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di posisi 48,4 %.