Pentingnya Regulasi untuk Mendorong Pertumbuhan Industri Perbankan
Industri perbankan diatur ketat oleh regulator. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan melindungi kepentingan nasabah. Terlebih, aset perbankan nasional telah mencapai Rp11.113 triliun, dengan cakupan 77-78% terhadap aset sektor keuangan. Industri perbankan kini mendominasi sektor tersebut.
Regulasi yang ketat menuntut para bankir untuk mematuhi berbagai standar yang telah ditetapkan. Aturan tersebut terkait manajemen risiko, pengelolaan keuangan, kepatuhan pada regulasi, serta penilaian kualitas kredit.
Namun, standar yang ketat tidak lantas mengurangi fleksibilitas perbankan dalam memberikan kredit. Justru, dengan regulasi yang ketat, para bankir dituntut untuk makin cermat dalam memilih peminjam yang layak. Tujuannya yakni agar risiko kredit macet dapat diminimalkan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Pieter Abdullah, mengatakan pengawasan terhadap perbankan tidak dilakukan untuk mempersulit.
“Penyaluran kredit, ketentuannya yang berlaku utamanya di bank itu sendiri. Prinsip prudent, tiap bank punya SOP (standard operating procedure) dalam bentuk 5 C. Ini yang harus dipatuhi self regulatory-nya,” kata Pieter dalam siaran pers, dikutip Minggu (19/2).
Menurut dia, ketatnya regulasi penyaluran kredit adalah upaya melindungi dana publik yang diamanahkan kepada bank. Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sangat mendorong penyaluran kredit yang lebih ekspansif.
“Fungsi dari bank kan sebagai intermediasi. Jadi ya, harus prudent. Jangan sampai kejadian seperti era 1998 silam. Itu bahaya kan,” sambung Pieter.
Dia mengakui, perbankan, terutama bank badan usaha milik negara (BUMN), sudah cukup ekspansif dalam penyaluran kredit. Sebab, hal itu menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Perbankan pun telah mencatat kinerja yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir. Bank juga berinovasi untuk memberikan layanan yang efisien.
Salah satu bank yang melakukan strategi tersebut yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Tahun lalu, bank pelat merah ini membukukan laba terbesar sepanjang sejarahnya. BNI telah mencetak pertumbuhan laba 68% secara tahunan menjadi Rp18,31 triliun.
Pada saat yang sama, pertumbuhan kredit BNI juga berhasil tumbuh 10,9% secara year-on-year (YoY). Rasio loan at risk (LaR) pun menyusut, dari 23% menjadi 16%. Tingkat biaya kredit menurun, dari 3,3% menjadi 1,9%. Kinerja moncer tersebut dibarengi penerapan good corporate governance (GCG) yang ketat oleh perseroan.
Hal tersebut ditandai oleh penghargaan The Best State Owned Enterprises dan masuknya BNI dalam Top 50 Big Cap Public Listed Companies dari Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD). Selain berkat GCG, penghargaan tersebut diraih BNI atas penerapan kestabilan bisnis jangka panjangnya.