Wacana BI Ubah Rp 1.000 jadi Rp 1 Sulit Dilakukan di Tahun Politik
Bank Indonesia atau BI kembali menyinggung wacana lama redenominasi alias penyederhanaan digit mata uang misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1 dalam rapat dengan Komite IV DPD RI belum lama ini. Namun demikian, wacana tersebut akan sulit dilakukan saat tahun politik.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat atau LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Rifky, mengatakan rencana itu akan sulit dilakukan dalam waktu dekat karena menjelang tahun politik Pemilu 2024.
"Biasanya regulator akan memprioritaskan kebijakan yang populis dalam situasi tahun politik," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/6).
Dia mengatakan, saat ini belum ada urgensi untuk mengeksusi rencana redenominasi tersebut. Pasalnya rupiah secara umum dalam kondisi yang masih baik-baik saja.
Sebaliknya, dia menilai redenominasi justru akan memakan biaya yang cukup besar. Redenominasi memang akan menyederhanakan pencatatan akuntansi. Namun demikian, akan ada 'biaya' yang timbul karena aktivitas seperti perdagangan internasional perlu menyesesuaikan dengan denominasi yang baru.
"Saya rasa memang tidak ada keuntungan yang signifikan kalau redenominasi ini, sementara kebutuhan atau cost untuk eksekusi itu justru cukup besar karena perlu persiapan panjang padahal belum ada urgensi yang betul-betul mendesak," kata Riefky.
RI Sudah Penuhi Syarat Redenominasi Rupiah
Wacana redenominasi sudah muncul sebelum Covid-19 tepatnya 2019. Rencana itu berhembus kuat karena pada tahun tersebut ekonomi Indonesia dan politik stabil.
Kepala Ekonom Bank Central Asia atau BCA, David Sumual, menilai Indonesia sebetulnya saat ini sudah siap merealisasi rencana lama itu. Alasannya karena inflasi sudah kembali pada tren penurunan setelah melonjak tajam akhir tahun lalu
"Sekarang inflasi kecenderungan menurun, jadi itu bisa dilakukan saja kalau mau dilakukan," kata David, Jumat (16/6).
Namun demikian, ia menilai rencana itu perlu disinkronkan dengan rencana blue print sistem pembayaran BI terutama rupiah digital. Selain itu, proses redenominasi perlu dilakukan bertahap dan membutuhkan sosialisasi kepada publik yang baik.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kontrol harga barang saat redenominasi dilakukan. Pasalnya, salah satu risiko dari rencana ini kemungkinan lonjakan harga karena bisa saja ada pemain nakal yang melakukan manipulasi psikologis.
Misalnya, harga barang A sebelumnya Rp 100 ribu, saat diredenominasi seharusnya Rp 100 tetapi dinaikkan Rp 125. Secara psikologis harga Rp 125 tetap terlihat rendah dari harga sebelum redenominasi.
Persiapan Teknis Sudah Dilakukan
Isu redenominasi kembali muncul dalam rapat antara BI dan Komite IV DPD RI beberapa hari lalu. BI menyebut Indonesia sebetulnya sudah siap secara teknis untuk redenominasi dari tahun 2019 atau sebelum Covid-19. Perekonomian dan politik saat itu juga sangat stabil.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut persiapan teknis pun saat itu sudah dilakukan hingga level ritel. Skema price tagging juga sudah ditentukan, dengan mengubah pecahan Rp 50.000 menjadi Rp 50.
"Sebenarnya sudah sampai sana (persiapan tingkat ritel), karena kalau untuk uang saja relatif mudah untuk BI, kita tinggal cetak dan umumkan misalnya yang Rp 50.000 menjadi Rp 50," kata Destry, Rabu (15/6)
Namun, menurut dia, tantangannya berada di bagian lainnya yakni upaya untuk mengontrol harga barang tidak ikut berubah saat dilakukan redenominasi. Ia menyebut bukan tidak mungkin ada pihak yang mencoba mengambil untung dengan melakukan manipulasi psikologis terhadap konsumen terkait perubahan denominasi.