Kelas Standar Berlaku, Apakah Iuran BPJS Kesehatan Naik Tahun Depan?
Pemerintah menargetkan, seluruh rumah sakit sudah menerapkan kebijakan Kelas Standar Rawat Inap atau KRIS pada tahun depan. Kebijakan ini diperkirakan akan berpengaruh pada iuran BPJS Kesehatan.
Penerapan kelas standar saat ini sudah diuji coba di lima rumah sakit vertikal. Kelima rumah sakit tersebut adalah RSUP Kariadi Semarang, RSUP Surakarta, RSUP dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP dr. Johannes Leimena Ambon, dan RSUP dr. Rivai Abdullah Palembang. Dengan berlakunya kelas standar, maka tak ada lagi perbedaan kamar layanan kelas 1, 2, dan 3.
Lantas bagaimana dengan iurannya?
Pemerintah hingga saat ini belum memutuskan perubahan iuran BPJS Kesehatan meski penerapan kelas standar sudah mulai diuji coba. Namun, sejumlah pengamat mengusulkan, besaran iuran kelas standar lebih besar dari iuran di kelas 3, tetapi tidak melebihi iuran kelas 2. Adapun besaran iuran yang sempat diusulkan adalah Rp 75 ribu.
Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Muttaqien menjelaskan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional hingga kini masih mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Adapun dalam aturan tersebut, iuran uran BPJS kesehatan untuk kelas I dipatok Rp 150 ribu, kelas II Rp100 ribu, dan kelas III Rp 35 ribu.
“Sedangkan terkait KRIS, menunggu regulasi yang akan keluar,” ujar Muttaqien kepada Katadata.co.id, Senin (4/9).
Terlepas dari perubahan iuran karena implementasi KRIS, ia memastikan iuran BPJS Kesehatan tak akan naik. Ini karena kondisi keuangan BPJS Kesehatan saat ini yang masih sangat sehat.
“Masih tetap sesuai dengan Perpres 64 Tahun 2020 hingga akhir 2023, bahkan hingga 2024. Secara perhitungan ketahanan DJS (dana jaminan sosial) Kesehatan masih sehat,” ujar Mutaqqien.
BPJS Kesehatan membukukan surplus mencapai Rp 17,74 triliun pada 2022, tahun ketiga lembaga ini membukukan keuntungan setelah defisit bertahun-tahun sejak beroperasi. Meski demikian, surplus tersebut turun dibandingkan 2021 dan 2020 yang masing-masing mencapai Rp 44,45 triliun dan Rp 45,31 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan yang dipublikasi pada Selasa (27/6), total pendapatan lembaga ini pada tahun lalu mencapai Rp 148,13 triliun, naik dibandingkban 2021 Rp 147,59 triliun. Namun beban BPJS Kesehatan melonjak hampir 30% dari Rp 102,137 triliun pada 2021 menjadi Rp 130,39 triliun.
Pendapatan BPJS Kesehatan pada tahun lalu terutama diperoleh dari pendapatan iuran mencapai Rp 144,04 triliun, naik dibandingkban 2021 Rp 143,32 triliun. Selain itu, pendapatan diperoleh dari pendapatan kontribusi pajak rokok Rp 269,7 miliar, pendapatan SilPA kapitasi Rp 377 miliar, pendapatan investíais Rp 2,88 triliun, dan pendapatan lain Rp 554 miliar.
Sementara itu, kenaikan beban terutama disumbang oleh beban jaminan kesehatan yang naik dari Rp 90,33 triliun menjadi Rp 113,47 triliun. Lonjakan beban juga terjadi pada kenaikan beban cadangan teknis dari Rp 4,4 triliun menjadi Rp 11,45 triliun.
Adapun beban operasional BPJS Kesehatan justry turun dari Rp 4,09 triliun menjadi Rp 4,02 triliun. Demikian pula dengan beban cadangan pgnurunan nilai piutang iuran dari Rp 3,28 triliun menjadi Rp 1,4 triliun, sedangkan beban lain naik dari Rp 19,6 miliar menjadi Rp 38,07 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan tersebut, dana jaminan sosial kesehatan sempat masih mencatatkan negatif saldo sebesar Rp 5,68 triliun pada 1 Januari 2021. Namun, dengan surplus sebesar Rp 44,45 triliun pada 2021 dan Rp 17,74 triliun pada 2022, saldo dana jaminan sosial mencapai Rp 56,51 trirliun pada akhir 2022.