Pemangkasan 600 BPR Akan Dorong Efisiensi dan Penyehatan Perbankan

Ferrika Lukmana Sari
6 Desember 2023, 14:29
BPR
ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/hp.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa (kedua kanan) melihat proses pembayaran klaim simpanan nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karya Remaja Indramayu di Kantor Cabang BRI Indramayu, Jawa Barat, Rabu (25/10/2023). LPS membayar klaim simpanan nasabah BPR Karya Remaja Indramayu senilai Rp280 miliar untuk 34 ribu nasabah menyusul pencabutan izin usaha BPR tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk memangkas jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dari 1.600 menjadi 1.000. Dengan begitu, OJK akan memangkas 600 BPR di Indonesia. 

Lembaga pengawasan di sektor keuangan ini beralasan, rencana pemangkasan ini karena jumlah BPR terlalu banyak dan mayoritas entitas belum memenuhi ketentuan modal inti.

Menanggapi hal itu, Kepala Ekonom Bank Josua Pardede menyebut, kondisi BPR secara agregat sebenarnya sudah terus membaik dan mendekati kinerja sebelum Covid-19. Namun ada sejumlah BPR yang memiliki masalah besar.

"Sehingga harus dilakukan efisiensi dengan [adanya] pelanggaran hukum termasuk fraud," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (6/12).

Selain itu, kemudahan pihak perorangan maupun group memiliki lebih dari 1 BPR membuat jumlahnya terlalu banyak. Kemudian masih banyak BPR yang belum memenuhi syarat dan ketentuan kebutuhan modal minimal sehingga perlu dilakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi.

Dengan begitu, pengurangan BPR dilakukan sebagai bentuk efisiensi karen jumlahnya terlalu banyak sehingga dapat menimbulkan kompetisi yang tidak sehat termasuk risiko penawaran dana pihak ketiga (DPK) dengan return terlalu tinggi.

"Hal ini malah akan membebani kinerja BPR di tengah kondisi ekonomi global dan domestik saat ini yang penuh dengan ketidakpastian," ujar Josua.

Oleh sebab itu, menurut dia, langkah efisiensi ini dinilai sudah cukup tepat untuk menyehatkan industri BPR. Apalagi peluang industri BPR untuk tumbuh masih cukup besar. Saat ini masih banyak masyarakat dan pelaku usaha mikro yang terjerat rentenir dan pinjol ilegal yang harusnya ini bisa digarap BPR.

Walau dampak BPR ke ekonomi makro memang tidak begitu besar, namun regulator tetap perlu berhati-hati karena ada penempatan dana BPR di bank umum sehingga dapat memiliki dampak sistemik.

"Oleh karena itu, kami melihat efisiensi BPR guna menjamin kesehatan sistem perbankan menjadi solusi yg cukup tepat," kata dia.

Senada, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menyebut pemangkasan ini sudah seharusnya. Karena jumlah BPR yang terlalu banyak membuat pengawasan menjadi kurang efisien.

Selain itu, mereka dituntut untuk menjalan bisnis yang mirip dengan bank umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Penguatan Sektor Keuangan ( UU PPSK).

"Dan ini tidak semua pemilik bank mempunyai kompetensi, terutama BPR. Kemudian mereka harus memiliki sumber daya baik dana, modal, capital maupun sumber daya manusia yang mumpuni untuk menjalankan bisnis BPR dengan modal baru," ujarnya.

Sehingga, menurut Amin, harus dilakukan konsolidasi, yang akan membuat industri lebih sehat. Selain itu, membuat industri BPR lebih berkembang dan agile, terutama dalam mengembangkan layanan dan produk perbankan digital.

"Tidak bisa tidak, tidak bisa dihindari transformasi BPR ke digital itu sebuah keharusnya dan keniscayaan," ujar Amin.

Selain transformasi digital, BPR juga diminta untuk mendorong komitmen pemilik, peningkatan prudential banking, perbaikan bisnis serta tata keloa.

Jumlah BPR Turun

Hingga September 2023, OJK mencatat jumlah BPR sebanyak 1.411 bank di Indonsia. Jumlah itu turun dibandingkan tahun 2020 dan 2021 masing - masing sebanyak 1.506 dan 1.468, karena adanya ketentuan konsolidasi dari OJK.

Walau jumlahnya terus turun, tapi penyaluran kredit BPR naik dari Rp 126,05 triliun pada September 2022 menjadi Rp 137,97 triliun pada September 2023. Sedangkan penyaluran kredit pada 2021 dan 2020, sebesar Rp 110,77 triliun dan Rp 116,58 triliun.

Sebelumnya, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang baru mengenai konsolidasi pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) melalui POJK Nomor 26 Tahun 2022 tentang BPRS. Aturan ini memperbarui dari POJK Nomor 3/POJK.03/2016 tentang BPRS.

Dengan konsolidasi, BPR Syariah diharapkan dapat mendukung peran industri perbankan lebih berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Ketentuan ini menekankan pada penguatan kelembagaan untuk mendukung program konsolidasi industri perbankan syariah melalui pendirian BPRS secara efektif.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...