Pemangkasan 600 BPR Akan Dorong Efisiensi dan Penyehatan Perbankan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk memangkas jumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dari 1.600 menjadi 1.000. Dengan begitu, OJK akan memangkas 600 BPR di Indonesia.
Lembaga pengawasan di sektor keuangan ini beralasan, rencana pemangkasan ini karena jumlah BPR terlalu banyak dan mayoritas entitas belum memenuhi ketentuan modal inti.
Menanggapi hal itu, Kepala Ekonom Bank Josua Pardede menyebut, kondisi BPR secara agregat sebenarnya sudah terus membaik dan mendekati kinerja sebelum Covid-19. Namun ada sejumlah BPR yang memiliki masalah besar.
"Sehingga harus dilakukan efisiensi dengan [adanya] pelanggaran hukum termasuk fraud," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (6/12).
Selain itu, kemudahan pihak perorangan maupun group memiliki lebih dari 1 BPR membuat jumlahnya terlalu banyak. Kemudian masih banyak BPR yang belum memenuhi syarat dan ketentuan kebutuhan modal minimal sehingga perlu dilakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi.
Dengan begitu, pengurangan BPR dilakukan sebagai bentuk efisiensi karen jumlahnya terlalu banyak sehingga dapat menimbulkan kompetisi yang tidak sehat termasuk risiko penawaran dana pihak ketiga (DPK) dengan return terlalu tinggi.
"Hal ini malah akan membebani kinerja BPR di tengah kondisi ekonomi global dan domestik saat ini yang penuh dengan ketidakpastian," ujar Josua.
Oleh sebab itu, menurut dia, langkah efisiensi ini dinilai sudah cukup tepat untuk menyehatkan industri BPR. Apalagi peluang industri BPR untuk tumbuh masih cukup besar. Saat ini masih banyak masyarakat dan pelaku usaha mikro yang terjerat rentenir dan pinjol ilegal yang harusnya ini bisa digarap BPR.
Walau dampak BPR ke ekonomi makro memang tidak begitu besar, namun regulator tetap perlu berhati-hati karena ada penempatan dana BPR di bank umum sehingga dapat memiliki dampak sistemik.
"Oleh karena itu, kami melihat efisiensi BPR guna menjamin kesehatan sistem perbankan menjadi solusi yg cukup tepat," kata dia.